Sabtu, 02 Agustus 2008

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tugas Filsafat Umum. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang “Tuhan sebagai Tujuan dan Kesempurnaan Akhir Manusia.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, baik teman-teman mahasiswa program studi psikologi dan dosen pembimbing yaitu Bapak Drs. Ismail Mudar,M.Si dan Bapak Mardianto,S.Ag, M.Si.

Dalam menulis makalah ini, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap kepada teman-teman dan para pembaca, semoga ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Sumedang, juni 2008

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………......…i

Daftar Isi………………………………………………..............………….ii

Pendahuluan………………………………………………..………………1

1. Latar Belakang………………………………….......……………1

2. Tujuan…………………………………………………...……….2

3. Batasan Masalah ………………………………………...………2

Pembahasan…………………………………………………………..........3

1. Siapakah Manusia?………………………………… ……….…..3

2. Tuhan sebagai Tujuan dan Kesempurnaan Akhir Manusia………………...........................................................…….5

3. Ibadah, Alat Menuju Tuhan……………….............……….…….6

Penutup………………………………………………….........…………....7

1. Kesimpulan………...…………………………..…………….…..8

2. Saran……………………………………………….………..…...8

Daftar Pustaka ......................................................................................... ...11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam hakekatnya manusia adalah makhluk yang berfilsafat. Karena hanya manusia yang memiliki pikiran dan selalu bertanya tentang dunia yang tak dilihat atau ditangkap oleh panca indera. Menurut Alisyahbandono(Burhanuddin:201), filsafat dapat memberi ketenangan pikiran dan kemantapan hati. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan manfaat filsafat adalah mencari kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakekat keaslian).

Manusia selalu mencari kebenaran yang hakiki. Konsep ketuhanan bagi manusia adalah kebenaran yang mutlak. Di dalam pencarian akan Tuhan manusia melakukan penyelidikan dan mencari dasar-dasar yang menjadi konsep Tuhan itu. Mungkin konsep ketuhanan sudah ada pada agama karena agama didasari pada keyakinan. Berbeda dengan filsafat, walaupun yakin bahwa Tuhan itu ada, tetapi para filosof masih selalu mempertanyakan tentang hal-hal yang menyangkut Tuhan.

Manusia adalah maujud penyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Hal ini telah tertera dalam kitab suci Al-Quran yang artinya: ”sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam struktur yang sebaik-baiknya…….”(Q.S:95:4-6). Jadi tak heran jika manusia menginginkan kesempurnaan yang hakiki dalam hidupnya. Karena manusia bermula dari Dzat Yang Maha Sempurna dan dengan fitrahnya mencintai segala jenis kesempurnaan.

Oleh karena itu akan timbul berbagai pertanyaan mengenai fitrah manusia ini, yaitu bagaimana caranya menuju kesempurnaan tersebut, sementara kesempurnaan absolut hanya ada pada Dzat Tuhan? Apakah kesempurnaan absolut (baca: Tuhan) itu dapat dicapai manusia? Dan apakah itu merupakan tujuan dan kesempurnaan akhir manusia?

B. Tujuan

Penulis membagi tujuan penulisan makalah ini ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.

o Tujuan umumnya adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah filsafat umum.

o Adapun tujuan khususnya, pertama untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca sekalian. Kedua, memberitahu kita mengenai apa sebenarnya tujuan dan kesempurnaan akhir manusia.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah kali ini penulis membahas tiga buah pokok permasalahan yaitu:

o Apakah manusia tahu tentang makna dari keberadaan dirinya?

o Bagaimana makna tuhan bagi manusia? dan

o Apa fungsi ibadah bagi manusia sebagai mahluk Tuhan?

PEMBAHASAN

1. Siapakah manusia?

“Apakah dan siapakah manusia?”. Pertanyaan ini sangat menarik untuk dipahami. Untuk menjawab pertanyaan ini, sering terjadi berbenturan pendapat karena keterbatasan manusia dalam memahami dirinya sendiri.

Konsep manusia adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal dan materialnya. Agar memahami manusia sesuai kodratnya diciptakan, semestinya kita bertanya kepada Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT.

Caranya dengan menafsirkan wahyu-wahyu yang diberikan kepada manusia melalui kitab suci Al Quran. Gambaran manusia menurut Al Quran adalah sebagai berikut:

a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin, semacam kata insan, ins, nas atau unas.

b. Menggunakan kata basyar.

c. Menggunakan kata Bani Adam atau Zuriyat Adam.

Kata basyar terambil dari kata yang ada mulanya berarti “menampakkan sesuatu dengan baik dan indah”, dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan kamu dari tanah dan ketika kamu menjadi basyar, kamu bertebaran.”(Q.S Ar-Rum ayat 20).

Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak dan tampak. Kata insan digunakan Al-Quran untuk menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia adalah makhluk unik, yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.

Ciri-ciri manusia dalam pandangan Al-Quran:

Adalah benar bahwa manusia bukanlah suatu entitas yang homogen, tetapi kebalikannya, yaitu heterogen. Berdasarkan Al-Quran manusia memiliki potensi-potensi (Cecep Syamsul:12) yang meliputi:

1. Manusia memiliki raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya.

2. Manusia itu sebaik-baiknya dari segi fitrah. Ciri utama fitrah adalah menerima Allah sebagai Tuhan.

3. Ruh. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujud ruh dan wujud badan.

4. Kebebasan, kemauan atau kebebasan kehendak, yaitu kebebasan memilh tingkah laku sendiri kebaikan atau keburukan.

5. Akal. Akal dalam pengertian islam, bukan otak tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam islam mempunyai pijakan pada tiga unsur yakni pikiran, perasaan, dan kemauan (cipta, rasa dan karsa).

6. Nafs. Nafs atau nafsu seringkali dikaitkan dengan gejolak atau dorongan yang terdapat dalam diri manusia.

Potensi-potensi yang diberikan Tuhan tersebut, sehingga manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Selain unsur tanah dan ruh, di dalam tubuh manusia sebenarnya ada juga unsur-unsur lainnya yang mendukung potensi-potensi tersebut, diantaranya adalah unsur fitrah, nafs, qalb, dan ruh (Ruhullah:124). Unsur-unsur tersebut biasanya disebut unsur immaterial.

a. Fitrah

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia uang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruh-nya). Termasuk di dalamnya kesempurnaan.

b. Nafs

Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat daripada daya tarik kebaikannya.

c. Qalb

Kata qalb bermakna “membalik”. Karena sering berbolak-balik, terkadang senang terkadang susah, kadang kala setuju, kadang kala menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten.

d. Ruh

Memaknai ruh, Al-Quran membicarakanna beraneka ragam, sehingga sulit untuk menetapkan makna dan subtansinya.

e. Akal

Kata akal berasal dari Aql, kata benda ini justru tidak ditemukan dalam Al-Quran, tetapi kata ini ditemukan dalam kata kerja. Dari segi bahasa kata Aql berarti tali pengikat atau penghalang. Dan akal ini merupakan sebuah kesempurnaan manusia.

2. Tuhan sebagai Tujuan dan Kesempurnaan Akhir Manusia

Kesempurnaan (al-kamal) merupakan sebuah karakter (yaitu suatu kualitas positif) yang berada di dalam wilayah eksistensi. Kesempurnaan hakekat suatu eksistensi apapun sesungguhnya lebih merupakan sifat, atau sifat-sifat yang menjadi tuntutan atas suatu aktualisasi akhir dari suatu eksistensi.

Jika kita mengamati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia senantiasa berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya. Sampai ia mendapat kesempurnaan yang diinginkan.

Sebelum menghilangkan segala kekurangan itu. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya Baik yang bersifat materi maupun spiritual. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang lama lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu justru akan melahirkan sifat-sifat yang buruk seperti congkak, sombong, ria, dll (Muchtar:13).

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehat yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar.

Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan berusaha menemukan kesempurnaan insaninya dengan melakukan perbuatan-perbuatan. Akan tetapi untuk memilih perbuatan yang dapat menyampaikannya pada tujuan-tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya. Puncak kesempurnaannya ini akan dapat diketahui manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalan hidupnya.

Kemudian ia harus mengetahui hubungan yang baik maupun negatif diantaranya berbagai perbuatan dengan aneka ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Oleh karenanya, kesempurnaan absolut hanya ada pada Dzat Tuhan SWT. Maka setiap insan disadari atau tidak fitrahnya ia mencintai dan mencari Tuhan. Maka Tuhan adalah tujuan dan kesempurnaaan akhir manusia (Muchtar:98).

Jadi kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepadanya. Karena itu adalah kebahagiaan, kesempurnaan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.

3. Ibadah adalah Alat Menuju Tuhan

Fitrah manusia selalu menyukai kesempurnaan dan selalu mengajak manusia menuju kepada kesempurnaan. Oleh karenanya, manusia harus mendengar ajakan fitrah tersebut dan harus sampai kepada kesempurnaan pada titik yang paling akhir dengan pergerakan dan perjalanan atas dasar ikhtiar-nya. Kesempunaan manusia dan pendekatan dirinya kepada Tuhan harus melalui perbuatan yang positif. Karenanya, meninggalkan penyembahan berhala dan taat kepada selain-Nya tidak bisa dihitung sebagai jalan pendekatan diri terhadap Tuhan dengan melihat sisi negatif dari pekerjaan tersebut.

Jadi, ibadah yang paling murni adalah pekerjaan yang dilakukan dengan kebebasan hati dan kesadaran penuh guna meraih sesuatu yang diinginkan oleh fitrah. Satu-satunya jalan yang benar adalah setia pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya harus dilakukan dengan niat ibadah dan berusaha untuk mencapai kualitas ibadah yang lebih, dalam setiap pekerjaan yang dilakukan (pekerjaan yang tidak dilarang oleh Tuhan).

Dikarenakan kesempurnaan absolut hanyalah milik Allah saja, dan atas dasar tuntutan fitrah manusia yang selalu mengajak manusia mencari semua jenis kesempurnaan. Maka manusia disadari atau tidak, ia telah diajak fitrahnya untuk menuju Allah (kesempurnaan). Menuju Allah tidak mungkin akan terwujud tanpa ibadah, karena hukum kausalitas pun berlaku di sini-maka ibadah dijadikan sebagai sarana untuk mendekat dan terus mendekat kepada Dzat Allah.

Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ibadah yang kita lakukan adalah kembali kepada kita, Karena hanya dengan ibadahlah kita dapat meraih tujuan yang harus kita raih yaitu bertemu dengan Dzat Yang Maha absolut sehingga melalui pertemuan itulah kita akan mampu mendapat kesempurnaan eksistensial kita. Semakin dekat dengan sumber cahaya maka akan tampak lebih bercahaya, apalagi jika telah menyatu (fana) dengan sumber cahaya tersebut. Dia adalah cahaya alam semesta. Cahaya sendiri terang lagi menerangi. Tidak ada yang terang daripada cahaya. Dia adalah cahaya diatas segala cahaya.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah. Fitrah manusia selalu menyukai kesempurnaan dan selalu mengajak manusia menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia dan pendekatan dirinya kepada Tuhan harus melalui perbuatan yang positif, misalnya saja dengan beribadah (yang merupakan tujuan pendek manusia). Sehingga pada akhirnya tercapailah tujuan utamanya yaitu pertemuan dengan Allah.

Manusia ingin menyempurnakan hidupnya dengan Tuhan. Sebagai tujuan akhir dari segala masalah yang ada di dunia ini. Kesempurnaan tujuan hanya dapat dicapai jika manusia itu berusaha keras, dan yakin bahwa segala sesuatu itu akan kembali kepada Yang Maha Sempurna. Kesemua itu sebagai keselarasan seluruh perjalanan hidup manusia itu sendiri.

2. Saran

Penulis menyarankan, agar kita sebagai manusia menyadari bahwa fitrah kita selalu menuntut kesempurnaan. Namun, janganlah melakukan hal-hal yang negatif untuk menuju ke tujuan dan kesempurnaan akhir kita. Karena jalan yang benar menuju kesempurnaan adalah penambahan kualitas secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan serta sarana yang kita miliki.

Jadi, hal yang perlu kita lakukan adalah beribadah, karena hanya dengan ibadah kita dapat meraih tujuan yang harus kita raih. Yaitu bertemu dengan Dzat Yang Maha Absolut, sehingga melalui pertemuan itu, kita akan mampu mendapatkan kesempurnaan eksistensial kita.

DAFTAR PUSTAKA

Hari,Cecep Syamsul. 1997. Spiritualitas dan Keberbagaian Agama. Jakarta: Zikrul Hakim

Luthfi, Muchtar. 2007. Kritik Atas Humanisme Eksistensialis. Jakarta: Rajawali Press

Salam, Burhanuddin. 1994. Pengantar Filsafat. Bandung: Bumi Aksara.

Asad, Muhammad. 2007. Islam di Simpang Jalan. Jakarta: Rajawali Press

Syams, Ruhullah. 2007. Nubuwwah dan Jalan Kesempurnaan. Yogyakarta: Andi Offset

Tidak ada komentar:

Posting Komentar