Kamis, 14 Agustus 2008

Mengenal Jauh Ikhwânul Muslimîn

Prolog
Pasca runtuhnya tiran jahiliyyah pada Fathu Makkah bulan Ramadhan tahun 8H, dari sini sejarah Islam mulai menggetarkan hati penduduk bumi. Tak ayal lagi, penduduk bumi berbondong-bondong seraya menundukkan jiwa raga bagi Islam1, karena dengan dua kalimat syahadat berarti manusia telah berikrar rela dituntun dan diatur oleh aturan Al Qur'an dan As Sunnah.
Dalam waktu yang panjang Islam menjadi imam dari peradaban dunia, dan semua bangsa berkiblat kepada peradaban Islam. Dinamika sosial, etika perpolitikan dan tata negara, yang jauh-jauh hari sudah dirumuskan oleh Rasulullah Saw. dan menjadi menjadi sandaran utama umat Islam selanjutnya.
Sepeninggal Rasulullah, Abu Bakar ra. menjadi khalifah pertama umat Islam, dalam kepemimpinannya beliau masih melakukan perbaikan internal dan rekonstruksi fondasi negara. Dimulai dari penyelesaian menghadapi nabi-nabi palsu dan kaum murtaddin, juga menertibkan kelompok yang enggan membayar zakat. Disamping itu beliau meneruskan misi ekspansi Usamah bin Zaid yang sempat terhenti karena mendengar kabar kematian Rasul2. Ciri khas etika politik internal yang dipakai Abu Bakar dalam pemerintahannya adalah: Memerintah dengan konsep syura, Kodifikasi Al Qur'an dan mengusng prinsip egaliter (Taswiyah) antar manusia3.
Ketika Abu Bakar mempunyai firasat bahwa ajalnya sudah dekat, beliau segera menulis wasiat dan memilih Umar bin Khattab untuk menjadi khalifah sepeninggalnya (Istikhlâf)4. Dibawah kekhilafahan Umar, peradaban Islam semakin maju, terlihat dari corak administrasi negaranya yang melahirkan Diwan5, disamping meluasnya ekspansi Islam keberbagai wilayah seperti; Mesir Romawi, Persia.
Diakhir pemerintahannya, Umar membentuk panitia pemilihan khalifah yang terdiri dari; Ali Utsman, Talhah, Zubair, Sa'ad dan Abdurrahman. Ke-enam orang ini berembuk yang selanjutnya tiga orang diantara mereka mengundurkan diri, tinggal Abdurrahman, Utsman dan Ali. Lalu Abdurrahman mulai mendatangi rumah-rumah penduduk untuk meminta pendapat mereka tentang dua orang yang akan nantinya menjadi khalifah, yaitu Ali atau Utsman. Walhasil, Utsman terpilih menjadi khalifah6. Selama dua belas tahun dalam pemerintahan Utsman, Islam dapat melebarkan sayapnya hinga ke Armenia dan Afrika Utara. Sifat Utsman yang lemah lembut, penyayang, dan suka menetralisir masalah, ini dimanfaatkan oleh kabilahnya dari bani Umayyah, sehingga di beberapa posisi administrasi negara berhasil diduduki bani Umayyah. Diusianya yang sudah lanjut, Utsman syahid atas buah dari kesalahpahaman umat Islam dan karena provokasi dari Abdullah bin Saba7.
Setelah lima hari umat Islam mengalami vacum of khalifah, terpilihlah Ali sebagai pengganti Utsman. Di masa pemerintahannya beliau dihadapkan oleh konflik internal dan Fitnah Kubrâ (The Big Chaos), dimulai dari demonstrasi menuntut penyelesaian darah Utsman, perang Jamal sampai perang Siffin. Yang kesemua konflik ini ditunggangi oleh Abdullah bin Saba8.
Ali terbunuh dan kekhilafahan digantikan oleh Hasan bin Ali, lalu diteruskan Bani Umayyah yang pemerintahannya memakai sistem monarchi, namun setelah itu dikalahkan bani Abbasiah sehingga bisa memegang tampuk kekhilafahan. Pada tahun 1924 dimulailah babakan keruntuhan Khilafah Islamiah atas inisiatif Mustafa Kemal Ataturk, yang kemudian negara Islam terpecah belah menjadi negara-negara kecil (Duwailât). Dan Barat, yang sedari dulu menjadi penonton peradaban, kini mulai menemukan titik lemah Islam sehingga dengan mudahnya mereka mulai melakukan penyerangan besar-besaran kepada negara-negara Islam, dan berhasil menanamkan pemikiran, sosial, militer dan politik ala Barat9.

Muncul Karena Efek Keruntuhan Khilafah Islamiah
Runtuhnya Khilafah Islamiah dibarengi dengan imperialisme Barat ke pelbagai wilayah Islam, ini berpengaruh besar terhadap jalan hidup (way of life) umat Islam. Sebab Barat tidak hanya menjajah negara secara fisik, tapi sistem kehidupan umat Islampun dipaksa untuk dirubah. Hasilnya, umat Islam tidak lagi memperhatikan rumus hidup mereka, syari'at Islam mereka ganti dengan undang-undang buatan manusia (lebih tepatnya buatan Barat), peradaban Barat merasuki gaya hidup mereka, wanita-wanita barat, minuman keras serta panggung dansa dihidangkan Barat untuk mereka. Semua ini mempunyai misi agar peradaban Barat menjadi model peradaban baru bagi umat Islam10.
Bentuk penjajahan seperti ini sebenarnya sudah berlangsung lama dilancarkan imperialis Barat, istilah Gold, Glory dan Gospel mereka bingkai dalam terma ekspansi. Namun mereka sadar bahwa "Obat Kuat" umat Islam, adalah Islam itu sendiri. Sehingga mereka mulai melakukan pembusukan dari dalam umat Islam, dengan menyebar bid'ah-bid'ah dalam agama oleh pion-pion mereka, Orientalis. Yang akhirnya merasuk di akal-akal lemah muslim dan terkabullah keinginan Barat, yaitu runtuhnya kekhilafahan yang diyakini sedari dulu mampu memelihara suhu ke-Islaman bagi rakyatnya. Dengan runtuhnya kekhilafahan ini mereka semakin menemukan kemudahan, dalam melancarkan imperialismenya. Usaha yang mereka mulai dari abad ke XIII, kini menemukan keberhasilan di tahun 1924.
Sekali lagi, keruntuhan Khilafah Islamiah adalah ulah dari para pemuda yang tergiur fatamorgana Barat. Dan penyakit ini masih menjangkit di hati-hati muslimin sempalan saat ini, sehingga westernisasi mereka anggap telah menjadi tren modernisasi. Karena secara manusiawi, menurut Ibnu Khaldun memang ada kecenderungan orang-orang yang kalah untuk menjiplak pemenang11. Dan kini yang menjadi pemenang adalah Barat, maka tidak sedikit fenomena penjiplakan banyak terjadi. Sebut saja Taha Husain yang mengusung fanatik butanya terhadap Barat, dia berkata dengan nada inferioritasnya (Ihbâth) terhadap Islam "Kita mesti mengikuti perjalanan bangsa Eropa dan melangkah di rute mereka, dengan menjadikan mereka Andâdan dan partner dalam peradaban. Mengambil apa yang baik dan buruknya Eropa, manis dan pahitnya, yang dicintai dan dibenci, serta yang dipuji dan tak terpuji"12.
Bagi yang memiliki akal yang sehat, pasti berpikir untuk menyelesaikan masalah fenomena sosial seperti ini. Tidak cukup hanya dengan rekonstruksi, tapi mesti mereformasi (Tajdîd) tatanan hidup yang ada. Maksud Tajdîd disini berarti mereformasi tatanan kehidupan sebagaimana way of life-nya generasi pertama (I'âdatul hayât ilâ mâkâna 'alaihi salafus shâlih), dengan tidak merubah ranah-ranah immutable (Tsawâbit). Karena jika Tajdîd menjamah dan merubah ranah yang immutable, berarti dia telah mendirikan agama baru.
Diantara yang memiliki akal sehat itu adalah Hasan Albanna, seorang anak dari bapak yang shaleh tukang servis jam. Di usianya yang masih belia, 22 tahun, dia sudah mampu berpikir luas memikirkan kemaslahatan umat Islam. Ideologi dia dituangkan di lembaga da'wah yang didirikannya bernama "Da'watul Ba'ts wal Inqâdz", yang kemudian menjelma menjadi "Ikhwanul Muslimîn" (selanjutnya ditulis: IM), tahun 1928 di kota Ismailiah dan pindah perkembangannya di Kairo tahun 193213. Lembaga ini memiliki misi merekrut umat dan menggerakkannya (Tahrîk) ke jalan yang diridlai Allah Swt., maka pada masa ini mulai muncul terma baru yaitu Harakah Islâmiyyah, sebagai pengganti dari istilah Harakah Qaumiyyah (Gerakan Nasionalisme)14.
Namun disayangkan, pada waktu itu ulama Al Azhar disibukan dengan problem internal hasil dari siasat pemerintah –atas petunjuk imperialis-, dengan maksud agar menjauhkan pengaruh Al Azhar dari masyarakat. Adapun kaum sufi sibuk dengan dzikir dan tarekat-tarekat sufinya15. Seakan semua bungkam sibuk dengan urusan pribadi dan golongan, ada juga yang terlena oleh hal-hal baru yang disodorkan Barat. Maka tidak heran jika ada orang yang melahirkan ide brilian pada periode seperti ini, dapat merekrut massa yang banyak dan dikenang ide-idenya dalam waktu yang panjang.
Albanna hidup dalam penjajahan Barat dan dalam pernak-pernik gaya hidup Barat yang diikuti muslimin waktu itu. Sebab itu gerak da'wah yang diusungnya tidak sebatas Tawâshau bil haq wa tawâshau bis shabr, namun bergerak progress ingin menggantikan kembali undang-undang negara yang dipakai saat itu. Sebab aspek inilah yang membuat muslimin mati jiwanya saat itu, dan yang menyebabkan Palestina diduduki Yahudi.

Perjalanan histori IM terbagi ke dalam lima babak: 16
1. Babak pembentukan dan penyebaran
Periode ini dimulai dari tahun 1928 sampai terbunuhnya Hasan Albanna, 12 Februari 1949. Diawal penyebaran da'wahnya, Albanna memulainya dengan mendekati para ulama dan tokoh masyrakat. Tidak berhenti disana, Albanna mulai merekrut kekuatan dari mahasiswa Al Azhar dan Darul Ulum, dan bersama mereka Albanna menyebarkan da'wah di kafe-kafe, tempat fitnes, gelanggang olah raga, dll. Albanna mengkonsentrasikan perekrutannya kepada para pemuda, karena dia yakin bahwa pemuda mudah dan bisa diajak berpikir dan bergerak progress. Dalam idealisme da'wahnya, Albanna hanya memberikan pilihan: jalan syari'at Islam yang dapat menyelamatkan manusia dari degradasi moral dan rusaknya peradaban, atau undang-undang thagut yang malah merusak moral dan peradaban manusia.
Ketika gerak da'wahnya berpindah ke Kairo pada tahun 1932, pengikutnya kian bertambah. Terlihat dalam waktu hanya empat tahun, pada tahun 1938 IM dapat mengerahkan massa sebanyak 4000 lebih, untuk berdemo menuntut penegakan syari'at Islam. Juga pada musim haji Albanna bersama ratusan pemuda IM, dengan mengenakan seragam jalabiah dan peci putih menghadiri undangan Raja Abdul Aziz yang juga dihadiri para diplomat dari berbagai negara Islam. Disana mereka berorasi di hadapan tamu-tamu undangan, mengajak untuk menegakan syari'at Islam17.
Ketika Albanna melihat pemerintah Mesir dan negara-negara Arab lainnya lemah dan bergantung kepada Inggris dan Yahudi, dia membentuk Badan Rahasia IM yang dibai'at -dengan Al Qur'an dan Pistol- agar mereka siap mengorbankan jiwa dan raganya demi syari'at Islam, tahun 1946. Badan Rahasia ini dipimpin oleh Abdurrahman As Sanadi yang membawahi diantaranya Jamal Abdun Nasir18. Dimulai tahun 1936 IM sudah mengerahkan pasukannya ke Palestina untuk melawan Yahudi, namun pada perang terakhir yang dikenal dengan perang At Tabbah 86, tahun 1948, Albanna mengirimkan lagi sebanyak 10.000 pasukan menuju Palestina, karena melihat gelagat pasukan Arab yang terlihat berniat menyerahkan Palestina ke tangan Yahudi. Pasca perang At Tabbah 86, 8 Desember 1948, seluruh anggota IM ditangkap pemerintah Mesir kecuali Albanna, dengan alasan mengirimkan pasukan ke Palestina tanpa seizin pemerintah.
Albanna bersikukuh ingin ikut rombongan anggota IM yang ditangkap, karena dia merasa bertanggung jawab atas semua ini. Namun polisi menolak dan mendorongnya, Albanna seketika berteriak "Jadi kalian ingin membunuhku?!". Firasat Albanna ini terbukti pada tanggal 12 Februari 1949, ketika keluar dari rumah saudaranya dia diberondong peluru di taksi yang ditumpanginya. Albanna pun diangkut ke Rumah Sakit, namun pemerintah melarang siapapun mengobatinya, dan akhirnya Albanna meninggal kehabisan darah tanpa perawatan. Jasad Albanna hanya diiring oleh dua orang menuju penguburannya, karena pemerintah melarang orang-orang mendekati penguburan Albanna, disamping itu anggota IM masih banyak berada di tahanan19.
2. Babak Vacum of Mursyid, Mursyid ke II, sampai tahun 1954
Pasca kematian Albanna, suasana keamanan negara semakin diperketat, penangkapan anggota-anggota IM terus berlangsung. Dus, IM mengalami Vacum of Mursyid dua tahun lamanya, dan diangkatlah Hasan Hudlaibi Mursyid ke II pada tahun 1951. Pada periode Mursyid ke II ini, IM masih dalam tahap pembenahan internal, disamping masih juga melancarkan manuver-manuver melawan penjajah, seperti manuver yang dilakukan untuk menyerang lokomotif Inggris yang berisikan serdadu Inggirs dan persenjataan, tahun 21 Januari 1951.
Ada dua sejarah besar yang tidak dapat dilupakan IM sampai saat ini; pertama, pembunuhan terhadap Hasan Albanna, kedua, Revolusi Mesir. IM memberikan kontribusi besar dalam revolusi yang dilancarkan untuk menggulingkan status quo Raja Faruq, tanggal 23 Juli 1952. Diawali dengan permintaan Jamal Abdun Nasir -waktu itu Jamal sudah keluar dari IM pasca perang At Tabbah 86- kepada Dewan Penasehat IM di Kairo, agar membantu gerakan revolusinya. Namun karena keputusan ini milik Mursyid IM, maka Dewan Penasehat tidak dapat memutuskan, disamping Mursyid pada waktu itu berdomisili di Alexandria, dan membutuhkan perjalanan 2 hari untuk kesana. Jamal pun menunggu keputusan Mursyid, yang akhirnya disetujuinya dengan mewanti-wanti kepada Dewan Penasehat agar Jamal berjanji menegakkan syari'at Islam pasca revolusi20.
Saya berpandangan, bahwa kebijakan Hasan Hudlaibi ini bertentangan dengan idealisme mendiang Hasan Albanna. Albanna menolak dengan keras usaha revolusi rakyat, karena beliau menganggap itu tidak bermanfaat dan malah menampakkan sikap radikalisme21.
Revolusipun berhasil dengan mulus dan Raja Faruq dideportasi. Hudlaibi bergegas mendatangi Jamal dan mengingatkan kembali tentang perjanjian pra-revolusi. Namun tak dinyana, Jamal berkelit dan berkata bahwa tidak ada perjanjian seperti itu sebelumnya dengan Dewan Penasehat IM. Walhasil, IM pulang dengan tangan kosong dan Jamalpun diangkat menjadi presiden Mesir dengan menggunakan undang-undang Thagut.
3. Babak IM vis a vis Jamal, hingga tahun 1970
Rakyat Mesir pada pemerintahan Jamal mengalami tekanan yang sangat dahsyat. Kebebasan berkspresi dibendung oleh kelaliman pemerintah (The man behind the gun), Jamal yang tadinya anak asuh IM kini membuka kedok aslinya. Dia intens melakukan hubungan diplomasi dengan Amerika, Yahudi dan Komunis uni Soviet. Yang memang sebelum revolusi Jamal didukung secara moril oleh Amerika, sehingga permintaan Jamal kepada Amerika agar Inggris tidak intervensi dalam revolusipun dikabulkannya.
Jamal menawarkan Mesir kepada Uni Soviet untuk bergabung dalam blok kamunis, dan berniat mengubah sistem pemerintahan Mesir dengan sistem komunis. Namun untungnya, dengan Kuasa Allah Swt., Uni Soviet menolak mentah-mentah tawaran Jamal. Adapun hubungan Jamal dengan Yahudi sudah berlangsung lama, bahkan ketika dia masih menjadi angota Badan Rahasia IM. Disaat dia dikirim bersama anggota IM menuju Palestina, dia memanfaatkan momen untuk berhubungan dengan Yahudi. Bahkan di akhir ajalnya, dia menawarkan Mesir agar menjalin hubungan baik dengan Israel22.
Disamping Jamal berhasil memberantas sistem feodalis yang telah mengakar kuat di dada para bangsawan pemerintahan raja Faruq. Jamal membatasi kekayaan kaum borjuis dengan membuat undang-undang pembatasan hak milik tanah, dan bagi siapa saja yang memiliki tanah lebih dari yang telah dibatasi, maka tanah tersebut disita dan dibagikan kepada fakir miskin.
Pada masa pemerintahan Jamal, IM semakin ditekan, dan siapa saja yang meneriakan yel-yel "Kembali kepada Qur'an dan Sunnah", dituduh sebagai pemberontak yang bisa mengganggu integrasi bangsa. Karenanya, tidak sedikit anggota IM yang menjadi tahanan politik Jamal, termasuk Sayyid Qutub.
Jamal meninggal pada tahun 1967 setelah merasakan penyakit gula dari mulai tahun 1962, kemudian dia dikebumikan pada tahun 197023.
4. Babak IM bersama Anwar Sadat, tahun 1971 sampai tahun 1975
Sepeninggal Jamal, Mesir dipimpin oleh Anwar Sadat yang pada masa kepresidenan Jamal, Sadat sebagai wakil presidennya. Mesir, di bawah kepemimpinannya menjadi negara yang memiliki sistem kapitalis yang hanya menguntungkan orang-orang borjuis. Karena pada masa ini Mesir sedang dalam tahap pembangunan, maka Anwar Sadat mulai mendekati negara Adi kuasa, Amerika, sehingga Mesir menjadi negara ketergantungan kepada Amerika.
Pada kepemimpinan Anwar Sadat ini, Mesir berhasil mengusir Israel dari Sinai, akan tetapi pasca perang, kondisi ekonomi Mesir menjadi carut marut karena keuangan terarah kepada pendanaan perang. Sehingga harga I'sy (makanan pokok Mesir) menjadi naik, dan demonstrasi rakyatpun tak bisa dibendung.
Pemerintahan Anwar Sadat tidak jauh beda dengan pemerintahan Jamal, karena Anwar Sadat adalah hasil didikan langsung dari Jamal. Sehingga kebijakan politisnya sama seperti Jamal dalam menangani rakyat yang "merong-rong" kekuasaannya. Tapi meskipun demikian, pada masa Sadat dari tahun 1971 sampai 1975, Tapol dari anggota IM semuanya dibebaskan.
Pemerintahan Anwar Sadat dapat digulingkan dengan berhasilnya usaha pembunuhan terhadapnya pada tahun 1981, tiga peluru behasil mendarat di tubuh Anwar Sadat sehingga membuat nyawanya melayang. Tapi yang menjadi keganjilan yaitu soal satu peluru yang mendarat di punggung Anwar Sadat, padahal penembak saat itu berada di posisi depan dia. Dua peluru mendarat di dadanya, dan satu peluru "gaib" mendarat di punggung Anwar Sadat, peluru siapakah itu? Wallâhu A'lam.
5. Babak rekonstruksi IM dan rekrutmen ulang
Dimulai pada masa kepemimpinan Umar At Tilmisani sampai saat ini.
Hasan Hudlaibi wafat pada tahun 1973 dan kemursyidan dilanjutkan Umar At Tilmisani pada tahun 1976. At Tilmisani lebih mengonsentrasikan jama'ah kepada rekonstruksi internal dan rekrutmen ulang, setelah pada masa Mursyid ke II mengalami benturan yang sangat keras dengan pemerintah. Adapun pada periode saat ini, langkah IM lebih lues daalam menghadapi pemerintah, sehingga tidak sedikit anggota IM yang berhasil duduk di parlemen. IM menyebar ke beberapa negara seperti; Al Jazair, Maroko, Yaman, Sudan, Palestina, Suria, Urdun, Libanon, Inggris, Kuwait, Tunis Emirat, Bahrain, Aman dan Qatar24.

Corak Pergerakan IM
Tidak ada sekecil apapun golongan yang tidak memiliki Khitthah yang diusungnya, karena khitthah merupakan ruh yang menggerakan suatu kelompok. Sebab itu mustahil jika ada suatu kelompok yang tidak memiliki khitthah, meskipun ada itu hanya segerombolan orang yang tidak memiliki tujuan bersama.
Untuk mengenal jauh sebuah jama'ah, kita dapat memakai pisau analisa dibawah ini:25
1. Mengenal Asas dan konsepsi suatu jama'ah
Pergerakan suatu jama'ah pasti berangkat dari Asas dan konsepsi yang diusungnya, adalah IM dapat dikenal dan bertahan sampai sekarang karena memiliki Asas yang masih dan tetap relevan sampai kapanpun. Albanna menegaskan bahwa perangkat (baca: Asas) IM adalah sebagaimana manhajnya Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah Saw26, dengan berpegang kepada Al Qur'an27 dan As Sunnah. Bekal mereka adalah iman dengan arti yang luas (Syumul), serta Jihâd fî Sabîlillâh, karena panji da'wah Islam tidak akan berkibar jika tidak dibarengi dengan jihad, pengorbanan dan kesungguhan28.
Karena di saat kita meneriakan yel-yel "Islam adalah agama juga negara", maka idealisme ini mesti bersandar kepada Al Qur'an dan As Sunnah, sebab tidak ada lagi undang-undang yang Allah Swt. berikan, kecuali Al Qur'an dan As Sunnah. Dalam kedua sandaran ini kita bisa menemukan terdapat dua perangkat hukum: pertama, hukum-hukum yang memerintahkan agar menjalankan agama, mencakup urusan akidah dan ibadah. Kedua, hukum-hukum yang berkenaan dengan pengaturan negara dan sosial kemasyarakatan, seperti; perdata, pidana, konstitusi, HAM, dll29.
IM memiliki konsep pengikatan antara; ideologi dengan akidah, nidzam dan manhaj, yang mana hal ini tidak bisa terhenti oleh kondisi, tidak terikat oleh jender dan tidak dibatasi oleh geografis. Dus, jama'ah IM bukanlah partai politik, meskipun politik merupakan kaidah Islam yang membentuk ideologi mereka. Juga bukan sebuah yayasan, meskipun perbaikan dan rekonstruksi merupakan tujuan besar mereka30. Artinya, IM mencoba merepresentasikan sosok Islam yang integral, yang diawali aplikasinya di lingkungan jama'ah mereka. Asas dan konsepsi IM ini terangkum dalam 20 Testimoni (Washâya 'Isyrîn) Hasan Albanna.
Dan lagi, Albanna menegaskan bahwa ideologi IM adalah: 1. Da'wah Salafiah, yang mengajak kembali kepada Islam dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. 2. Thariqah Sunniyah, yang mengamalkan Sunnah di segala aspek, terlebih aspek akidah dan ibadah. 3. Haqîqah Sûfiyah (Esensi Sufi), yang mengusung bahwa asas perbaikan adalah kesucian jiwa dan pembersihan hati, tekun beramal, berpaling dari materi, mencintai karena Allah, dan (diri) terkait kepada kebaikan. 4. Hai'ah Siyasiyah (Lembaga politik), yang menginginkan perbaikan undang-undang internal, mendidik rakyat tentang arti izzah, kemuliaan dan cinta tanah air. 5. Jamâ'ah Riyâdliyyah (Klub olah raga), yang memelihara tubuh mereka, meyakini bahwa seorang mu'min yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, sehingga adengan ini bisa memikul beban ibadah seperti; shaum, shalat, haji dan jihad. 6. Râbithah 'ilmiyyah wa tsaqafiyyah (klub saintis), sebagaimana Islam memerintahkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslimin dan muslimah. Dan klub ikhwan, adalah klub yang mengkaji keilmuan, edukatif, mentarbiyah jasad, akal dan ruh. 7. Syirkah Iqtishâdliyyah (Perusahaan perekonomian), karena Islam memahami pengaturan uang, perolehan yang halal dengan sandaran sabda Rasul "Barang siapa yang di sore harinya kelelahan karena usahanya, dia diampuni di sore harinya". 8. Fikrah Ijtimâ'iyyah (Ideologi Sosial), karena mereka memahami tentang arti penyakit sosial dan berusaha mengobati masyarakat31.
2. Mengenal Tujuan jama'ah
Asas dan konsepsi yang ditawarkan IM tadi bukanlah hal yang baru (Muhdatsah), karena ini memang yang menjadi pegangan umat Islam pada kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.. Namun pegangan ini menjadi asing di telinga-telinga muslim pasca keruntuhan khilafah Islamiah, apatah lagi dengan muslim saat ini. Sehingga jika mereka mendengar kata-kata "Islam adalah agama juga negara", serta-merta mereka mengambil posisi pertahanan bahkan ada yang terang-terangan menolak.
Begitupun dengan tujuan yang ditawarkan IM bukanlah hal yang baru, karena tujuan dari IM adalah ingin membentuk generasi baru dari umat Islam produk dari didikan Islam yang benar, yang nantinya bisa mewarnai umat dengan warna Islam di setiap lini kehidupan32. Lebih jelasnya IM ingin membangun; manusia muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, tanah air muslim, emperor muslim dan akhirnya da'wah tersebar keseluruh pelosok dunia33.
Jika Asas dan konsepsi suatu jama'ah syumul, maka tujuannyapun mesti syumul. Begitupun dengan IM, jika Asas yang dijadikan sandaran IM bersifat syumul, tanpa batas kondisi, situasi, dan geografis, maka tujuan yang dicapainyapun mesti mereka petakan sesempurna mungkin. Dimulai dari titik personal sampai ultimate goal yang luas lagi cakupannya (baca: Khilafah Islamiah).
3. Mengenal Akses yang dipakai dalam mencapai tujuan
Sesempurna apapun Asas dan Tujuan yang disodorkan, namun jika Akses yang dipakainya tidak relevan dan tidak dapat memberikan fasilitas demi tercapainya tujuan. Maka Asas dan tujuan itu tak ubahnya mutiara yang terkubur lumpur. Jadi pastinya, Asas, Tujuan serta Akses mesti interdependen satu sama lainnya, jika roda jama'ah ingin tetap berputar.
Demi mewujudkan cita-cita jama'ahnya yang paripurna, Albanna merancang akses yang diawali dengan:34
a. Manhaj yang benar yang diambil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Pastinya ini dilakukan untuk memberikan pemahaman keislaman yang benar bagi umat Islam.
b. Kontributor da'wah yang beriman. Karena teko yang kosong tidak dapat mengisi cawan.
c. Leadership yang teguh lagi terpercaya. Karena pemimpin adalah tauladan bagi yang dipimpinnya.
Selanjutnya akses ini diwujudkan dalam bentuk nyata dengan frame da'wah, ini diawali dengan konsep Tarbiyah Islamiyah. Yang mana Tarbiyah ini memiliki mediator-mediator (wasâ'il), dan di setiap mediator memeiliki sub-sub mediator:35
A. Mediator umum:
a. Ideologi jama'ah, yang meyakini bahwa syari'at Islam bersifat syumul, dan meyakini bahwa Asas Islam adalah Al Qur'an dan As Sunnah, serta yakin bahwa Islam adalah agama yang komprehensif yang menghukumi semua lini kehidupan.
b. Manhaj jama'ah yang mengusung kekuatan dan menafikan despotisme (Kelaliman), mencita-citakan tegaknya hukum Allah dan mendambakan lehir kembali Khilafah Islamiyah.
B. Mediator Khusus:
Menghidupkan Usrah36, Katîbah37, Rihlah (piknik)38, Mukhayyam39, Daurah40, Nadwah (Simposium)41, Mu'tamar (Konfrensi)42.

Dalam menggapai cita-citanya, akses IM tidak terhenti sebatas personal dan golongan an sich (Fa hasb), tetapi dilanjutkan ketingkat sosial, nasional dan internasional. Sebab tujuan akhir IM adalah mewujudkan tegaknya kalimat Allah yang tinggi. Akses IM yang saya maksudkan disini adalah:43
a. Seputar etika politik, yurisdiksi dan administrasi negara. Dalam akses ini terdapat 10 jalan, termasuk permaslahan partai politik, amandemen undang-undang, perkuat militer, hubungan diplomasi dengan negara-negara Islam, monitoring pemerintah, dll.
b. Seputar sosial dan sains. Terdapat 30 jalan yang mengangkat masalah, moral, sains, ideologi, kesehatan, dll.
c. Seputar ekonomi. Terdapat 10 jalan mencakup urusan zakat, produksi, investasi, industri, pertanian, undang-undang buruh, dll.

Dialektika dan Diskursus Seputar Corak Pergerakan IM
Tidak ada satu makhluk pun yang tidak memiliki kekurangan, apatah lagi dengan ide hasil cipta makhluk Tuhan, kemungkinannya akan semakin lebih besar lagi. Kekurangan yang ada tidak lantas kita hukumi sebagai dosa besar, tapi kita mesti memperbaikinya, dan kalaupun tidak bisa, cukup menutupinya dengan kelebihan yang dimiliki. Toh, bisa jadi kekurangan atau kesalahan yang kita anggap ada pada orang lain, malah buah dari kesalahan kita dalam menilai orang lain. Terburu-buru dan subjektif dalam menilai sesuatu, malah berbuah kesalahan yang lebih besar lagi, atau lebih ngerinya malah berbuah skisma (perpecahan) dan heresy (Takfîr).
IM sebagai lembaga da'wah hasil cipta manusia, juga pasti memiliki kekurangan atau pernah melakukan kesalahan. Dan saya memandang, kekurangan dan kesalahan yang ada dalam tubuh IM tidak sampai menyentuh Asas jama'ah, tapi hanya terjadi di Tujuan atau di Akses. Karena Asas yang dipakai IM bersifat sakral (Tsubut) dan infallible (Tidak dapat salah), yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Bisa saja anggota IM menawarkan suatu ideologi atau konsepsinya, namun tidak sengaja bertentangan dengan Asas jama'ah.
Pada poin ini saya hanya menyodorkan sebagian dialektika dan diskursus yang sering terjadi antara IM dan jama'ah lain, dan yang saya sodorkan di bawah ini saya anggap sangat urgen.

1. IM dan Sufi
Di saat Albanna menjelaskan bahwa ideologi IM mencakup diantaranya, esensi sufi (Haqîqah Sûfiyah), tidak sedikit pengikutnya salah dalam menginterpretasikan ucapannya ini. Ada yang menafsirkan ucapan Albanna ini mengajak manusia agar memasuki salah satu tarekat sufi. Padahal menurut Sa'id Hawwa seorang tokoh dan pemikir IM, dalam bukunya Jaulât Al Fiqhain Alkabîr wal Akbar di jaulah ke VIII hlm. 154 mengatakan "Pergerakan IM berjiwakan sufi dan mengambil esensi sufi dengan tidak mengambil sisi negatifnya"44. Juga Albanna sendiri tidak pernah mengajak anggotanya agar memasuki tarekat sufi, meskipun Albanna sendiri adalah salah satu dari murid tarekat sufi yang bernama Tarekat Al Hashâfiyyah45, Abul Hasan An Nadawi menuturkan dalam bukunya At Tafsîr As Siyâsî lil Islâm hlm. 138-39 "Syaikh Hasan Albanna memberikan bagian tarbiyah ruhiyah untuk pembentukan jiwanya dan harakah besarnya. Di awal urusannya –sebagaimana dituturkannya- bergabung dalam tarekat Al Hasâfiyyah Asy Syâdziliyyah, dan telah menjalankan program-program (tarekat), dzikir-dzikirnya secara dawam. Seorang tokoh dan sahabat karibnya menuturkan kepada saya bahwa beliau (Albanna) masih suka menjalankan program-program (tarekat) beserta wirid-wiridnya sampai akhir hayatnya dan meskipun di sela-sela kesibukannya"46.
Albannapun tidak pernah mengajak anggotanya agar memasuki tarekatnya, tapi mengajak jama'ah untuk mengikuti esensi dari sufi. Sebagaimana keterangannya, karena esensi dari sufi adalah mengusung bahwa asas perbaikan adalah kesucian jiwa dan pembersihan hati, tekun beramal, berpaling dari materi, mencintai karena Allah, dan (diri) terkait kepada kebaikan47. dan lagi menurut Albanna tasawuf yang dimaksud adalah: bersikap zuhud di dunia, berpaling kepada akhirat dan bersungguh-sungguh dalam menta'ati Allah48. Lebih tegas lagi Albanna berkata: "Wahai para pemuda, sungguh salah sangkaan orang bahwa jama'ah IM adalah jama'ah Darâwîsy49, yang mengungkung diri mereka dalam lingkaran sempit arti ibadah, mereka hanya mementingkan shalat, shaum, dzikir dan tasbih. Adapun muslim yang unggul tidak mengenal –apalagi mempercayai- Islam dengan penggambaran seperti itu. Tetapi mereka (Muslim yang unggul) meyakini Islam mencakup akidah dan ibadah, tanah air dan negara, makhluk dan materi, peradaban dan perundang-undangan, toleransi dan kekuatan"50.
Jadi, maksud yang ingin ditekankan Albanna adalah makna dari esensi sufi, bukan istilahnya. Karena istilah sufi ini sudah dikenal orang dengan penggambaran yang disebutkan Albanna tadi. Adapun memakai terma (istilah) seperti ini tidak dilarang dalam agama, disamping Nabipun pernah memakai terma yang mana terma ini diharamkan oleh agama Islam. Sebagaimana dalam sabdanya: "Sesungguhnya dalam bayan/penjelasan mengandung sihir", padahal sihir diharamkan oleh agama. Namun makna sihir dalam ucapan Nabi ini adalah majazi, yang maksudnya bahwa orator dapat menundukkan hati orang lain dengan keindahan orasinya, sebagaimana penyihir dapat menundukkan hati orang lain dengan jampi-jampi dan ketangkasannya51.
Saya berpandangan bahwa tidak semua penghukuman terhadap suatu perkara itu karena penamaannya, tapi lebih dihukumi karena maksud mereka dari penamaan tersebut. Apalagi –dalam masalah hukum tasawuf- Ibnu Taimiyyahpun tidak menghukumi secara general bahwa semua sufi itu sesat, sebagaimana perkataan beliau dalam Al Fatawa Kubrâ, juz II, hlm. 202 "Diantara mereka ada para mujtahid yang ta'at kepada Allah, sebagaimana juga seperti orang-orang ta'at dari luar golongan mereka,..... Diantara mereka ada juga yang berdosa lalu kembali bertaubat dan ada juga yang tidak kembali bertaubat"52. Jika kita menggebyah uyah (mengeneralisir) para sufi sebagai orang sesat, lalu bagaimana dengan para ulama dan zahid seperti; Abdullah Ibnu Mubarak, Fudlail bin Iyadl, Ibrahim Ibnu Adham, Abu salamah Addarini, Sahal Ibnu Abdullah At Tastasni ?, padahal mereka adalah Salafus Shalih.
Adapun jika ada pengikut IM yang memasuki tarekat sufi –seperti juga Albanna-, itu merupakan inisiatif mereka sendiri bukan atas kebijakan jama'ah IM. Begitupun jika ada yang mengikuti aliran akidah lainnya, seperti Maturidiah, Asy'ariyah, Mu'tazilah, dll. Sebagaimana Sayyid Hawwa yang meyakini ideologi Asyariyyah dan Maturidiyyah, dalam bukunya Jaulât Al Fiqhain Alkabîr wal Akbar di jaulah ke IV hlm. 66 dia berkata "Aku sandarkan problem akidah umat kepada dua orang: Abul Hasan Al Asy'ari dan Abu Manshur Al Maturidi"53, ini bukan atas kebijakan jama'ah IM.

2. IM dan Syi'ah
Banyak orang yang beranggapan bahwa IM mensupport da'wah kelompok Syi'ah, dan IM sendiri menganggap bahwa tidak adanya perbedaan antara Syi'ah dengan Sunnah, kecuali hanya perbedaan layaknya perbedaan madzhab Fiqih dalam jama'ah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, semisal; Hanafiah, Malikiah, Syafi'iyyah dan Hanbaliyyah. Terlebih lagi anggapan ini diamini oleh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Kaifa Nafhamul Islâm, hlm. 144-145, berkata "Sesungguhnya jarak antara Syi'ah dan Sunni layaknya jarak antara madzhab fiqih Abu Hanifah dengan madzhab fiqih Malik atau Syafi'i"54.
Penuturan Muhammad Al Ghazali ini saya pandang terlalu berlebihan dan memudahkan permasalahan, dengan menganalogikan perbedaan Syi'ah dengan Sunni layaknya perbedaan madzhab-madzhab fiqih. Saya yakin Muhammad Al Ghazali tahu bahwa Syi'ah berkeyakinan para Imam mereka ma'shum, dan mereka mereduksi masalah imamiah ke dalam ranah akidah, karena menurut mereka imamiah merupakan salah satu rukun Islam55. Bahkan mereka meyakini bahwa Al Qur'an yang dipegang oleh orang-orang Sunni, tidak sesuai dengan Al Qur'an yang asli, disamping mereka juga banyak yang mencela para sahabat Rasulullah.
Padahal yang diusung Albanna ketika mengadakan pertemuan dengan para ulama Syi'ah, adalah ingin mengajak rekonsiliasi (Taqrîb) antara Syi'ah dan Sunni, bukannya hendak menyamakan mereka seperti madzhab Fiqih dalam jama'ah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ini senada dengan ucapan Umar At Tilmisani dalam salah satu makalahnya yang ditulis di Majalah Ad Da'wah edisi 105, tahun 1985 dengan judul Syi'ah dan Sunnah "Rekonsiliasi antara Syi'ah dan Sunni adalah kewajiban para fuqaha saat ini" dan ucapannya yang lain "Para Fuqaha kita mesti bersama menyuarakan ide rekonsiliasi, sebagai usaha mempersiapkan masa depan muslim"56. Dengan usaha rekonsiliasi ini setidaknya dapat menjaga pertumpahan darah muslimin dan menjaga kampung halaman mereka57.
Adapun kebahagiaan IM kepada Revolusioner Al Khumaini pasca revolusi Iran, adalah sebagai bentuk ucapan selamat atas keberhasilan mereka meruntuhkan kekuasaan feodal rezim Syah Reza Pahlevi yang menjadi negara boneka Amerika Serikat. Sikap IM ini persis seperti bahagianya Rasul ketika mendengar janji Allah bahwa Romawi akan mengalahkan Persia58.
Usaha rekonsiliasi ini saya pandang mesti kembali diadakan, melihat banyak terjadi pertumpahan darah antara Syi'ah dan Sunni yang sampai saat ini belum juga usai, semisal di Iraq.

3. IM dan Heresy (Takfîr)
Terma heresy mulai bergejolak dan ramai digunakan pada masa pemenjaraan para tahanan politik Jamal Abdun Nasir. Pemerintahan Jamal yang mengedepankan sikap represif (penindasan), ini malah melahirkan kemelut-kemelut baru pada pemerintahan Anwar Sadat. Kondisi pemenjaraan yang menyeramkan, berbagai alat penyiksaan berjejer siap menyakiti tubuh-tubuh tahanan. Hidangan mereka setiap hari adalah kerja keras dan penyiksaan. Sel-sel penjara banjir dengan darah yang menetes dari tubuh-tubuh para tahanan, yang disiksa dengan cambuk dan popor senapan. Di sudut lain, Jamal malah semakin intens menjalin hubungan dengan Barat dan Komunis. Simbol-simbol keislaman mereka hinakan dan dipaksa untuk dihapuskan, perayaan maulid Nabi dia ganti dengan merayakan kelahiran Lenin (Tokoh Komunis).
Maka tidak heran, jika kondisi pemenjaraan seperti ini melahirkan sebagian anggota IM –terdapat ribuan anggota IM yang menjadi tahanan politik- yang putus asa untuk berda'wah dengan jalan damai kepada pemerintah, sehingga mereka lebih memilih jalan radikal dan bahkan mengkafirkan pemerintah. Dipemenjaraan seperti inilah, Sayyid Qutub menulis buku fenomenalnya yang berjudul Ma'âlim fit Tharîq59. Buku yang mengusung semangat uzlah (mengasingkan diri dari masyarakat) dan menganggap jahiliyyah masyarakat dan pemerintah saat itu. Buku inilah yang menghantarkan Sayyid Qutub ke tiang gantungan.
Buku Sayyid Qutub ini menjadi santapan orang-orang IM dan kawan-kawan sepemenjaraan lainnya, sehingga sedikit banyaknya telah melahirkan da'i-da'i radikal. Sebut saja Syukri Mustafa yang sewaktu dipenjara bersama Sayyid Qutub, sering melakukan halaqah-halaqah dan mendoktrin teman-temannya dengan ide-ide radikalnya, yang saya pandang ide-idenya mirip dengan ide-ide yang dilontarkan Sayyid Qutub dalam Ma'âlim fit Tharîq.
Karenanya ketika pada pemerintahan Anwar Sadat, para tahanan politik banyak dibebaskan, termasuk Syukri Mustafa. Syukri langsung memobilisasi mulai massa untuk uzlah ke gunung, dan mengkafirkan sekaligus mengharamkan berinteraksi dengan pemerintah. Kelompok ini dia namakan jama'ah Takfir wal Hijrah. Namun akhirnya Syukri mati di tiang gantungan karena bersama pengikutnya telah membunuh menteri perwakafan, syaikh Adz Dzahabi60.
Di waktu pemenjaraan, Hasan Hudlaibi telah mewanti-wanti kepada anggota IM agar berhati-hati dengan pemikiran radikal Syukri Mustafa. Karena itu beliau menyambut baik usaha beberapa anggota IM yang menulis buku Du'at Lâ Qudât, dengan maksud agar dibaca kawan-kawan IM yang berada di penjara dan menolak radikalisme. Bahkan IM sendiri tidak menyetujui sikap pengkafiran terhadap masyarakat dan pemerintah, karenanya menurut Salim Al Bahansawi, Sayyid Qutub tidak bermaksud untuk mengkafirkan masyarakat dan pemerintah, hanya orang-orang saja yang miss-interpretasi terhadap buku Ma'âlim fit Tharîq.
Ketika Sayyid Qutub dalam bukunya itu mengatakan jahiliyyah kepada masyarakat saat itu, ini bukan berarti dia menganggap murtad masyarakat. Tapi maksud jahiliyyah disini adalah kemaksiatan, sebagaimana dalam surat Al Ahzâb: 33 yang melarang kaum wanita bermaksiat dengan cara berhias ala jahiliyyah dahulu61. Adapun maksud Uzlah yanga diutarakan Sayyid Qutub bukan berarti mengasingkan diri hijrah ke gunung, pisah dari keluarga dan membangun darul Islam disana. Tapi maksudnya yaitu uzlah hati dari kondisi masyarakat62.
Namun kedua terma ini kemudian menjadi salah tafsir dari Syukri, dan saya memandang miss-interpretasi ini terjadi karena Sayyid Qutub tidak menjelaskan maksud dari kedua terma ini dengan sejelas-jelasnya, padahal banyak di setiap kalimat bukunya menggunakan ta'bir sastra. Usaha penjelasan ini sebenarnya mungkin dilakukan, apalagi waktu itu dia satu pemenjaraan dengan Syukri Mustafa.
Tugas kita kali ini adalah memberantas heresy dan radikalisme di tubuh-tubuh kelompok Islam, yang bisa kita awali dengan memberantas jiwa taqlid dan ta'ashub. Contohnya seperti ucapan ta'ashubnya Sa'id Hawwa dalam Al Madkhâl ilâ da'wah Al Ikhwân Al Muslimîn, hlm. 26: "Pergerakan IM adalah jama'ah yang seyogyanya muslimin menaruh tangan di tangannya"63 maksudnya masuk ke jama'ah IM. Karena dengan ta'ashub, berarti kita sudah mengibarkan bendera kejahiliyyahan (baca: Kemaksiatan), sebagaimana sabda Rasul: "Barangsiapa yang berperang di bawah bendera kebodohan dan benci karena ta'ashub, dan berpihak karena ta'ashub, mengajak kepada ta'ashub. Lalu jika ia terbunuh, maka terbunuhnya itu secara Jahiliyyah”64.

Secercah Harapan
Tiada kisah dan sejarah yang tidak akan berakhir, dan semua orang pasti menginginkan akhir yang bahagia (Happy ending). Begitupun dengan sejarah perjalanan Islam dan Muslimin, pasti akan berakhir. Namun akan berakhir dengan kebahagiaan. Karena ini memang merupakan janji Allah dan Rasul-Nya. Dan kita saat ini hanya bisa memilih, apakah ingin menjadi orang yang bergabung merasakan kebahagiaan nanti, ataukah hancur lebur bersama orang-orang yang dirundung kekalahan ?.
Jika kita tidak perduli dengan problematika umat Isam saat ini, individualistik dan hidup hanya mengejar kesenangan sesaat. Berarti kita lebih memilih pilihan kedua, yaitu bergabung bersama orang-orang kalah. Nabi Muhammad Saw. menamakan kelompok ini dengan "Manusia Buih" sebagaimana dalam sabda-Nya: "Hampir saja bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian dari seluruh penjuru, seperti orang memperebutkan makanan", para sahabat bertanya "Apakah kita pada saat itu sedikit, wahai Rasulullah Saw.?", beliau menjawab "Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak, namun kalian seperti buih di atas air, dan Allah Swt. mencabut rasa takut terhadap kalian dalam dada musuh-musuh kalian, sementara Dia akan meletakan Wahn (kelemahan) dalam hati kalian". Para sahabat kembali bertanya, "Apakah Wahn itu wahai Rasulullah?", beliau menjawab "Cinta dunia dan takut mati" 65.
Lebih jauh lagi, hadits ini menunjukkan sumber kondisi yang berbahaya yang membuat umat menjadi seperti buih, yaitu faktor kejiwaan dan moral. Bukan karena faktor materi atau ekonomi. Ia adalah penyakit dari segala penyakit, seperti penyakit inferioritas yang masuk dalam jiwa dan merubahnya menjadi kerdil serta merusaknya 66. Sehingga umat Islam yang saat ini berjumlah 1. 179.326.000, tunduk dalam hegemoni (Haimanah) Yahudi yang hanya berjumlah 15.050.00067.
Namun jika kita ingin menjadi golongan yang berbahagia di akhirnya, maka kita mesti siap mengorbankan jiwa, raga, keluarga dan harta untuk izzah Islam wal Muslimin. Menjadi mata rantai penyebaran Islam ke pelosok dunia, sebagaimana janji Nabi Saw "Islam akan mencapai wilayah yang dicapai siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah yang mewah maupun rumah yang sederhana, kecuali akan memasukkan agama ini ke dalamnya. Dengan memuliakan orang yang mulia atau dengan menghinakan orang yang hina. Mulia karena dimuliakan Allah disebabkan keislamannya dan hina karena dihinakan Allah disebabkan kekafirannya"68.
Juga kita siap menjadi pion-pion, yang akan menegakkan khilafah Islamiyah yang telah dijanjikan Rasulullah kepada umat Islam. Dalam sabdanya "Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang masa kekhilafahan atas manhaj kenabian selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa kerajaan dzalim selama beberapa masa, selanjutnya datang masa kerajaan diktator dan totaliter dalam beberapa aamasa hingga waktu yang ditentukan Allah. Setelah itu akan (terulang kembali) kekhilafahan atas manhaj kenabian" kemudian Rasullah berdiam69.
Ingat, Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati 70, sebab bagi Barat, yang menjadi "ganjalan" utama bukanlah fundamentalisme Islam, tapi Islam itu sendiri71. Peradaban barat saat ini sedang dalam babakan terakhir, atau menurut Fukuyama "The end of History". Jika memang babakan kemenangan Islam sebentar lagi, apakah kita hanya akan termangu menjadi penonton?.
Tugas yang bisa kita lakukan saat ini adalah: Kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah, karena dua pegangan inilah yang menjadi sandaran kegemilangan peradaban Islam dahulu. Perkuat barisan, karena dengan ini kita tidak lagi disibukan dengan skisma dan heresy. Islamisasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bisa memperkuat peradaban, sebagaimana dahulu jaman khalifah Al Manshur, Harun Ar Rasyid dan Al Ma'mun peradaban Islam semakin gemilang karena menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India, seperti; Astronomi, matematika, sastra, dll72. Kemudian ilmu-ilmu ini diislamisasikan dengan mengambil yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an da As Sunnah, setelah itu dikembangkan oleh ulama-ulama Islam. Dan bahkan Barat bisa seperti sekarang ini karena ilmu pengetahuan, yang sebenarnya mereka ambil dari ulama-ulama muslim. Sebut saja Adam Smith (1776 M) –Bapak ekonomi Barat- menulis buku Wealth of Nation, yang disuga mendapat inspirasi dari buku Al Amwâl karangan Abu Ubaid (838 M). Perkuat pertahanan militer, karena dengan ini akan menambah wibawa Islam di hadapan musuh-musuhnya. Dan Last but not least, Tentukan musuh bersama umat Islam, karena dengan ini bisa menyamakan barisan umat Islam.

Epilog
Ketika Sosialis, Komunis, Kapitalis, dan ideologi lainnya berebut menawarkan sistem tata negara. Umat Islam kali ini malah inferioritas bahkan enggan memakai sistem kenegaraan yang diberikan Tuhannya. Padahal Allah sudah menjanjikan "Secara tegas Allah telah menjanjikan sesuatu kepada orang-orang yang mempercayai kebenaran, tunduk kepadanya dan mengerjakan amal saleh. Yaitu, Dia akan menjadikan mereka sebagai pengganti orang-orang terdahulu yang mewarisi kekuasaan di muka bumi, seperti halnya orang-orang yang telah mendahului mereka. Allah juga akan meneguhkan bagi mereka agama Islam sebagai agama kepasrahan yang diridai-Nya. Dengan demikian, kalian menjadi memiliki wibawa dan kekuasaan. Begitu pula Allah akan mengganti keadaan mereka dari rasa takut menjadi rasa aman, sehingga kalian dapat beribadah dengan tenang dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun dalam beribadah. Barangsiapa memilih untuk kafir setelah datangnya janji yang benar ini, atau keluar dari agama Islam, sesungguhnya mereka itu adalah orang- orang yang fasik, ingkar dan membangkang" (An Nûr: 55).
In Urîdu illal ishlâha mastatha’tu


1. An Nashr: 2.
2. Dr. Muhammad Husain Haikal, Hayâtu Muhammad Sallallâhu 'alaihi wa sallam, Mathba' Al Hai'ah Al 'âmah lil Kitâb, cet. V, hlm. 514.
3. Muhammad Ahmad Khidir, Mâ Bainal Umârain, Mathba' Al Hai'ah Al 'âmah lil Kitâb, 2006, hlm. 83.
4. Ibid, hlm. 99
5. Istilah Diwan ini diambil dari bahasa Persia yang berarti "Daftar" (Ibid, hlm. 140).
6. Ibid, hlm. 179
7. Al Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi, Al 'awâshim minal Qawâsim, Maktabah Salafiah: Cairo, cet. VII, 2000.
8. Ibid
9. Mahmud Jami', Wa 'Araftul Ikhwân, Dârut Tauzi' wan Nasyr Al Islâmiyyah: Port Said, 2003, hlm. 13.
10. Ibid, hlm. 13
11. Adian Husainai, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani: Jakarta, 2005, hlm. 271.
12. Taha Husain, Mustaqbal Ats Tsaqâfah fî Mashri, hlm. 41.
13. Ali Abdul Halim Mahmud, Wasâil Tarbiyyah, Dârut Tauzi' wan Nasyr Al Islâmiyyah: Port Said, 2003, hlm. 7.
14. Mahmud Jami', Op Cit, hlm. 14-15.
15. Ibid, hlm. 15.
16. Ibid, hlm. 29.
17. Ibid, hlm. 25.
18. Ibid, hlm. 26.
19. Ibid, hlm. 55.
20. Ibid, hlm. 83-84
21. Hasan Albanna, Majmu'atur Rasâ'il, Dârud Da'wah, Alexandria: 1998, hlm. 184-186.
22. Mahmud Jami', Op Cit, hlm. 107.
23. Ibid, hlm. 112.
24. Ibid, hlm. 34.
25. Jum'ah Amin Abdul Aziz, Fahmul Islâm; fî Dzilâlil Ushûlul Isyrîn, Dârud Da'wah, Alexandria: 2004, cet. VI, hlm. 12.
26. Al Ahzâb: 21
27. Al Mâidah: 15-16
28. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 111-112.
29. Jum'ah Amin Abdul Aziz, Op Cit, hlm. 36.
30. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 115
31. Ibid, hlm. 170.
32. Ibid, hlm. 164.
33. Ibid, hlm. 95.
34. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 33.
35. Ali Abdul Halim Mahmud, Wasâ'il At Tarbiyyah 'inda Al Ikhwân Al Muslimîn, Dârut Tauzi' wan Nasyr Al Islâmiyyah: Port Said.
36. Semacam halaqah yang bertujuan untuk: 1. Membentuk manusia paripurna, 2. Mempererat tali persaudaraan antar anggota, 3. Mereduksi ukhuwah dari ranah teori ke ranah aplikasi, 4. Mempermudah menyambung link antar anggota, 5. Membangun modal jama'ah, 6. Menjalani mediasi ini wajib bagi anggota jama'ah, 7. Mediasi (baca: Usrah) ini layaknya urat saraf jama'ah dalam skup personal, sosial dan material. Sedangkan persatuan adalah cita-cita Islam dan Muslimin. (Ibid, hlm. 104).
37. Penyatuan antar personal dan Usrah dalam satu acara yang bersisi tarbiyah ruhiyah, melunakan hati, mensucikan jiwa dan membiasakan anggota badan selalu siap untuk beribadh, tahajjud, dzikir, tadabur dan tafakur (Ibid, hlm. 207)
38. Biasanya dilakukan sebulan sekali bersama beberapa Usrah (Ibid, hlm. 231).
39. Semacam kepramukaan, mengenal persenjataan dan siasat perang (Ibid, hlm. 247).
40. Dilakukan secara intens dengan masa yang sudah ditentukan. Di acara ini sekumpulan Usrah, dihidangkan kuliah-kuliah, riset, training dengan tema yang sudah ditentukan (Ibid, hlm. 271).
41. Biasa dihadiri oleh para pakar dari berbagai bidang keilmuan untuk meriset dan mempelajari problem dan kasus (Ibid, hlm. 284).
42. Perhelatan besar untuk memusyawarahkan dan meriset topik dan kasus penting (Ibid, hlm. 308).
43. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 83-87.
44. Muhammad Ibnu Saif Al 'Ajami, Waqafât ma'a Kitâb Lid Du'ât Faqat, Maktabah Al Hunafâ'a, hlm. 40.
45. Mahmud Jami', Op Cit, hlm. 17.
46. Muhammad Ibnu Saif Al 'Ajami , Op Cit, hlm. 41.
47. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 170.
48. Prof. DR. Taufiq Al Wa'i, Al Ikhwânul Muslimûn, Kubrâl Harakât Al Islâmiyyah; Syubhât wa Rudûd, Maktabah Al Manâr Al Islâmiyyah, Kuwait:2001, hlm. 33.
49. Darâwîsy adalah jama' dari Darwîsy yang berarti pertapa yang berkelana (Mu'jam Al Wajîz, Wizârah Tarbiyyah wa Ta'lim, 1999, hlm. 226)
50. Hasan Albanna, Op Cit, hlm. 97.
51. Jum'ah Amin Abdul Aziz, Op Cit, hlm. 52.
52. Ibid, hlm. 55.
53. Muhammad Ibnu Saif Al 'Ajami, Op Cit, hlm. 14.
54. Ibid, hlm. 5.
55. Sabda Islam Progresif, sub-judul Wilâyât Al Faqîh, Ahmad Ginanjar Sya'ban, Lakpesdan: Kairo, 2006, hlm. 112.
56. Muhammad Ibnu Saif Al 'Ajami, Op Cit, hlm. 57.
57. Prof. DR. Taufiq Al Wa'i, Op Cit, hlm. 239.
58. Ar Rûm: 1-5.
59. Mahmud Jami', Op Cit, hlm. 141.
60. Ibid, hlm. 147.
61. Salim Al Bahansawi, Adlwâun 'ala Ma'âlim fit Tharîq, Dârul Wafâ, Manshurah:1999, hlm. 28.
62. Ibid, hlm. 43.
63. Muhammad Ibnu Saif Al 'Ajami, Op Cit, hlm. 77.
64. HR. Muslim juz III hal. 1.478. Baihaqi dan yang lainnya.
65. HR. Ahmad dan Abu Daud.
66. Yusuf Al Qardhawi, As Sunnah Mashdar lil Ma'rifati wal Hadlârah, edisi terjemahan Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta:1998, hlm. 215.
67. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization; and remaking of world order, edisi terjemahan Indonesia, Qalam, Yogyakarta:2003 cet. VII.
68. HR. Ahmad dalam Musnad.
69. HR. Ahmad.
70. Samuel P. Huntington, Op Cit, hlm. 389.
71. Ibid, hlm. 409.
72. Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosda, Bandung: 2001, cet. IX, hlm. 240.

posted by Irfan Kasyaf N at 12:10 PM | 0 Comments
Fiqih Dulu dan Kini

Prolog
Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia.
Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.
Adapun nazh yang dzhanni dilalah yaitu nash yang bisa dita'wil, karena memiliki makna yang luas dan lebih dari satu (ambigu). Seperti kata quru' dalam masa 'Iddah wanita yang ditalak1, kata quru' ini ada yang mengatakan masa haidl dan ada juga yang memaknainya dengan masa bersih.

Definisi Fiqih
Fiqih diambil dari tiga akar kata fa qa dan ha, yang memiliki arti "Mengetahui sesuatu dan memahaminya". Akan tetapi kata fiqih ini di dalam Al Qur'an digunakan pada makna memahami ilmu yang lebih mendalam. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. "Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (An Nisaa: 78)2.
Secara ishtilah fiqih berarti "Ilmu mengenai hukum-hukum Syari'at yang bersifat amali, yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik"3.

Sejarah Perjalanan Fiqih
Syari'at yang diturunkan Allah bagi ummat Islam tidak ada campur tangan budaya ataupun adat, tapi syari'at bukan berarti tidak relevan bagi budaya manusia. Bahkan syari'at membimbing budaya manusia agar lebih bermanfaat lagi, dengan menetapkan taklif yang sesuai dengan fitrah manusia.
Syari'at Islam bersifat sakral dan tidak bisa berubah, tidak sebagaimana yang disangkakan orang-orang bahwa syari'at itu berevolusi. Syari'at Islam adalah asas sekaligus sarana (wasilah), dengan membiarkan sebagian wasilahnya tidak dibatasi, agar dapat relevan disetiap zamannya. Tetapi asas dan tujuannya tetap tidak berubah4.
Kalau begitu apa fungsi fiqih dan ijtihad, jika syari'at tidak berevolusi?. Fiqih beserta ijtihadnya tidak bermaksud untuk mengembangkan syari'at yang sudah sakral, tetapi hendak mengaitkan fenomena baru dengan kaidah (asas) syari'at yang ada. Artinya, fiqih beserta ijtihad bukan untuk membuat hal-hal yang baru dalam syari'at. Fiqih berfungsi untuk menyimpulkan suatu hukum (istinbath hukum) yang bersifat dzhanni dilalah, sedangkan ijtihad merupakan usaha keras para mujtahid dalam menentukan suatu hukum dari fenomena baru agar bisa sampai pada apa yang dikehendaki syari'at (baca: Allah dan Rasullullah).
Karenanya dalam sejarah perjalanan fiqih di setiap dekadepun, syari'at tetap dijadikan asas dan akses dalam menghadapi fenomena. Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh membaginya dalam enam periode5:
1. Fiqih pada masa Nabi Muhammad Saw.
Fiqih pada masa ini dimulai dari awal kenabian Muhammad Saw, sampai wafatnya pada tahun 11 Hijriah. Fiqih pada masa ini tidak membuahkan perbedaan pendapat yang begitu nampak, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas. Fiqih pada masa ini maksudnya ijtihad-ijtihad Nabi dan para sahabat dalam memutuskan suatu perkara. Namun pada masa ini fiqih menjadi sebuah syar'iat, karena hasil ijtihadnya secara langsung dibenarkan oleh Allah Swt. atau oleh Nabi Muhammad Saw..
Muncul sebuah pertanyaan, apakah dengan ijtihad Nabi dan para sahabat berarti menunjukan bahwa ada syari'at di luar Al Qur'an dan As Sunnah?. Para ulama Ushul Fiqih seperti; Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. diberi kuasa secara mutlak untuk berijtihad mengenai hukum-hukum syari'ah, dengan tanpa perlu menunggu turunnya wahyu.
Ijtihad Nabi Muhammad beserta para sahabatnya ini merupakan usaha untuk memperepat suatu perkara yang bisa dicintai oleh Allah Swt.. Akan tetapi usaha ijtihad ini tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, sebagaimana ijtihad Rasul mengenai pembibitan kurma.
Bedanya ijtihad pada masa ini dengan masa-masa sesudahnya adalah, ijtihad ini menjadi syari'at karena langsung dikoreksi kembali, baik oleh Nabi sendiri ataupun oleh Allah Swt.. Mengenai ijtihad Rasul tentang pembibitan kurma, hal ini tidak dijadikan syari'at karena Nabi menarik kembali ijtihadnya di awal. Juga ijtihad Nabi mengenai tawanan perang Badar, Allah langsung meluruskan kesalahan ijtihad Nabi dengan firman-Nya dalam surat Al Anfal: 67.
Adapun ijtihad para sahabat pada masa ini telah banyak terjadi, baik ketika berada di hadapan Nabi ataupun tidak diketahui Nabi, yang nantinya ketka Nabi mengetahui beliau langsung menerangkan ijtihad mana yang benar. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz yang diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi seorang Hakim, Nabi menanyakan dengan apa dia akan menghukumi?, Mu'adz menjawab dengan Al Qur'an, Sunnah atau Berijtihadj jika tidak terdapat dalam keduaanya.
Fiqih pada masa ini memiliki karakter diantaranya:
- Referensi disederhanakan hanya pada Al Qur'an dan Sunnah.
- Ijtihad dikoreksi oleh Nabi atau Allah Swt.
- Ijtihad pada masa ini menjadi penyempurna syari'at dan menjadi bagian dari syari'at.
2. Fiqih pada masa Sahabat
Dalam satu kesempatan Nabi Muhammadd Saw bersabda: "Para sahabat adalah amanah bagi umatku, jika mereka tiada maka akan datang umatku yang dijanjkan" (HR. Muslim). Bertolak dari hadits Nabi ini saya ingin menegaskan bahwa para sahabat adalah sebaik-baiknya ummat Nabi, dan masa inipun merupakan sebaik-baiknya masa.
Fiqih pada masa ini semakin semarak dibandingkan masa sebelumnya, karena sumber yang bisa menjawab permasalahan sudah berada diharibaan Allah Swt. Pada akhirnya para sahabat berijtihad dengan mengenal 'illah (sebab) syari'at yang ada, dengan mengaitkannya terhadap fenomena baru. Disamping juga para sahabat melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu perkara, yang mana kita kenal pada saat ini dengan sebutan Ijma'. Yang nantinya Ijma' ini menjadi salah satu perangkat dalam mengistinbath suatu hukum, yaitu Qaul Shahabat.
Disamping para sahabat melakukan ijma', juga para sahabat menggunakan ra'yu pribadi dalam memutuskan suatu hukum. Apalagi pada jaman kekhalifahan Utsman, para sahabat mulai tersebar ke beberapa daerah, sehingga tidak secara langsung memungkinkan untuk menanyakan pada sahabat yang lain. Sebagaimana Umar Ibn Khatthab memutuskan agar meringankan harga mahar bagi istri, lalu disanggah oleh seorang perempuan dengan memberikan suatu ayat dalam surat An Nisaa:20. perempuan tersebut beralasan mahar adalah hak perempuan dalam menetapkannya. Namun, ijma' dan ra'yu yang dilakukan para sahabat ini, tidak lepas dari asas-asas syari'at.
Contoh fiqih yang dihasikan pada masa ini sangat beragam, seperti keputusan Khalifah Abu Bakar ra. untuk memerangi kaum yang tidak membayar zakat. Atau pengkodifikasian Al qur'an pada masa Khalifah Utsman Ibn Affan ra. dll.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Fiqih pada masa ini, khususnya pada masa Khulafa'ur Rasyidin menjadi perangkat istinbath hukum.
- Ijtihad pada masa ini dengan menganalisa 'illah suatu hukum.
- Ijma' (syura') lebih ditekankan dalam memutuskan suatu hukum.
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu.
3. Fiqih pada masa Tabi'in
Dimulai pada tahun 41 Hijriah sampai akhir abad satu Hijriah. Fiqih pada masa ini semakin berkembang lagi, apalagi pasca Tahkim6 umat Islam saat itu menjadi terbagi kedalam beberapa jama'ah. Disamping pada perjalanan selanjutnya muncul dua madrasah yang ikut mewarnai fiqih.
Tahkim ini sedikit banyaknya mempengaruhi fiqih pada saat itu, meskipun pada awalnya jama'ah-jama'ah itu muncul disebabkan polemik politik. Namun jama'ah-jama'ah tersebut berkembang sampai menyentuh aspek fiqih.
Seperti; Khawarij berijtihad mengkafirkan pelaku dosa sekecil apapun, menjilid penzina baik yang sudah berkeluarga ataupun tidak, dengan alasan memakai dalil surat An Nur:2 dan mengabaikan hadits-hadits Nabi tentang perajaman penzina yang sudah berkeluarga, juga mereka berijtihad membolehkan wasiat kepada orang tua dengan memakai dalil surat Al Baqarah:180 dan menafikan hadits Nabi yang melarang memberi wasiat kepada ahli warits, dll.
Adapun Syi'ah mereka hanya menfsirkan ayat sesuai dengan visi mereka, mereka menolak pendapat diluar golongannya, mereka menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah untuk dijadikan perangkat istinbath hukum, Nikah Mut'ah tidak dinasakh, dll.
Namun di sisi lain, masih ada kaum muslimin yang masih memegang teguh syari'at dengan berijtihad tidak keluar dari ranah-ranah syari'at. Mereka inilah yang dijanjikan Allah dengan syurga (lihat QS. At Taubah:100), juga yang disebutkan Nabi sebagai masa yang terbaik setelah masa sahabat7.
Pada masa ini dimulai dikumpulkannya hadits-hadits Nabi atas perintah Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz kepada Imam Az Zuhury, meskipun pengkodifikasiannya belum dikumpulkan secara per-bab. Hal ini dilakukan Khalifah demi menjaga Hadits-hadits Nabi dari bercampurnya dengan hadits-hadits Maudlu'.
Juga, muncul dua madrasah yang memiliki perangkat ijtihad yang berbeda. Yaitu Marasah Ahli Hadits, madrasah ini terletak di Hijaz yang diusung oleh beberapa Tabi'in diantaranya: Said bin Musib, Urwan bin Zubair Sulaiman bin Yasar dll. Mereka berpandangan bahwa di dalam Al Qur'an dan As Sunnah telah terdapat hukum-hukum, karenanya ra'yu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Adapun madrasah Ra'yu terletak di Kuffah-Iraq dengan pengusungnya diantaranya: Al Harits Al A'war, Al Aswad bin Yazd, Masruq bin Amr As Salmani. Mereka berpendapat bahwa syari'at sarat dengan masuk akal, maka akal bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Diwarnai oleh beberapa jama'ah yang mengusung keta'ashuban.
- Munculnya dua madrasah
- Munculnya perangkat istinbath hukum baru; Ijma', Qiyas dan Mashalih Mursalah. Meskipun madrasah Hadits menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah
- Munculnya Fiqih Asumsi (Iftiradli) hasil pemikiran para Madrasah Ra'yu
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu (Qiyas dan Mashalih Mursalah).
4. Fiqih pada masa para imam Mujtahidin
Setelah terjadi hiruk pikuknya golongan dalam tubuh Islam, sehingga tidak sedikit telah mewarnai ranah fiqih. Pada masa ini bermunculnya madzhab-madzhab fiqih dan pengkodifikasian khazanah ilmu-ilmu Islam, sehingga masa ini disebut juga sebagai masa kegemilangan fiqih. Atau disebut juga dengan masa Tabi'ut Tabi'in, dimulai dari awal abad ke-dua Hijriah sampai pertengahan abad ke-empat. Masa ini telah disebut-sebut Nabi dalam sebuah sabdanya "Berbahagialah bagi orang yang melihatku dan dia mengimaniku, juga bagi orang yang melihat orang yang pernah melihatku, serta orang yang melihat orang yang pernah melihat orang yang melihatku. Kebahagiaan dan tempat kembali yang baik bagi mereka" (Hadits hasan riwayat Hakim).
Meskipun fiqih sudah mulai dikodifikasi pada masa bani Umayyah, namun Ushul fiqih sebagai asas dari fiqih mulai dirangkum ke dalam satu kitab pada masa ini, sehingga dengan ini para mufaqqih dengan gampang dalam mengistinbath suatu hukum. Meskipun pada dasarnya metodologhy istinbath hukum ini sudah ada pada Nabi Muhammad, namun pada masa ini dirumuskan oleh Imam Asy Syafi'i dalam bukunya "Ar Risaalah".
Karakter fiqih pada masa ini:
- Mendapat sokongan secara penuh dari khalifah. Sehingga pada masa ini dituduh kaum pluralis "fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya"8. Padahal tuduhan ini tidaklah benar, sebab pada masa ini pemerintah memang menaruh perhatian terhadap ilmu keislaman.
- Bermunculannya madzhab fiqih.
- Pengkodifikasian Ushul Fiqih, sehingga muncul juga istilah-istilah fiqih seperti; wajib, sunat, haram, mandub, mubah, makruh, syarat, rukun, sabab, dll.
- Berkembang kembali fiqih Iftiradli.
- Debatebel para ahli fiqih.
- Banyaknya qadli'ah mu'ashirah.
- Kebebasan berpendapat.
- Banyak menerjemahkan dan mempelajari ilmu-ilmu dan peradaban kuno
- Mengambil 'urf, istihsan, asyar'u man qablana, istishhab, dan saduddara'i sebagai perangkat istinbath hukum.
5. Fiqih pada masa rukud (stagnan) dan semi-taklid
Ini dimulai pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H. Dimana perjalanan fiqih pada masa ini mulai stagnan, karena ummat Islam pada waktu itu terbuai jiwa taklid. Sehingga peristiwa fanatisme golongan terjadi kembali, sebagaimana pernah terjadi pada masa pasca Tahkim. Bedanya, pada masa dulu didasari oleh polemik politik yang merembet pada permasalahan fiqih, sedangkan masa ini didasari oleh fanatisme madzhab fiqih.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Pembelaan masing-masing madzhab.
- Study komparasi sekaligus pentarjihan.
- Lemahnya pemerintahan Abbasiah pada waktu itu, sehingga sokongan pemerintah kepada para fuqaha dalam meriset ilmu terabaikan.
- Munculnya ketidakpercayadirian para ulama dalam berijtihad.
- Merasa cukup dengan ijtihad-ijtihad ulama madzhabnya terdahulu.
- Pengkodifikasian fatwa-fatwa ulama.
- Menciptakan Qawaid Fiqhiah.
6. Fiqih pada masa mengentalnya taklid dan masa geliatnya fiqih kontemporer
Dimulai pada pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode mengentalnya taklid mazhab-madzhab dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif.
Periode memuncaknya taklid buta terhadap madzhab-madzhab ini dimulai tahun 656 H, sampai awal abad ke-sepuluh hijriah. Ini terjadi karena Tatar membuang buku-buku di perpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak.
Kemudian pada awal abad ke-sepuluh Hijriah sampai saat ini, fiqih kembali menggeliat. Ditandai dengan sadar akan pentingnya berijtihad, juga maraknya seminar-seminar dan komprensi internasional yang diadakan para ulama dalam mengistinbath hukum. Sebagaimana pada tahun 1384 H Rabithah Alam Islamy mengadakan seminar dengan membentuk Badan Kongres Fiqih, juga pada tahun 1937 M di Lahay diadakan Konferensi Undang-undang Komparatif dengan mengundang Syaikh Al Azhar, Musthafa Al Maraghi, sebagai pembicara. Para hadirin yang pada waktu itu yang kebanyakan non-muslim merasa takjub, ternyata Islam juga memiliki perangkat sosial-politik.

Fiqih Kontemporer
Para ulama saat ini menyadari akan pentingnya fiqih Islam, dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia jaman ini. Karena hal ini juga dapat membuktikan kepada umat manusia, bahwa syari'at Islam itu integral dan selalu relevan dengan jamannya.
Fiqih yang dibutuhkan saat ini mesti berkaitan erat dengan objek yang dihadapinya, artinya fiqih beserta perangkat-perangkat istinbath hukumnya mesti mengenal objek ijtihad dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Seperti dalam membahas hukum menambal selaput dara atau kloning, fiqih tidak dapat menghukuminya tanpa memahami objek dengan bantuan ilmu kedokteran, atau fiqih hendak merumuskan hak-hak asasi manusia yang dimana hal ini mesti memahami dahulu objek dengan kaca mata sosiologi, psikologi atau antrophology.
Juga, fiqih saat ini mesti menghadirkan penyampaian keputusan hukum yang lunak, agar umat tidak serta-merta melarikan diri dengan alasan memberatkan. Hal ini telah diusung oleh DR. Yusuf Qardhawi dengan mengemas fiqih dalam bentuk Fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas), dimana beliau mengawali sistematika fiqih dengan pembahasan sosial kemasyarakatan. Dan fiqih mesti melanjutkan pembahasan yang mencakup sosial kemasyarakatan dan politik.
Perangkat Fiqih
Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih"9.
Yang dimaksud dengan kaidah di sini adalah, kaidah-kaidah luas yang mencakup partikel-partikel permasalahan. Sehingga seorang mujtahid dapat mengistinbath suatu hukum dengan melihat kaidah-kaidah tersebut. Misalkan dengan melihat kaidah yang berbunyi "Pada asalnya perintah menunjukkan suatu kewajiban", dan dipadankan dengan firman Allah yang berbunyi "Dirikanlah Shalat", seorang mujtahid bisa menyimpulkan bahwa hukum shalat adalah wajib.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil umum adalah, sandaran hukum-hukum syari'at. Sandaran hukum ini terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum10:
1. Dalil-dalil yang disepakati seluruh umat Islam, yaitu: Al Qur'an da Sunnah.
2. Dalil-dalil yang disepakati jumhur (mayoritas) muslim, yaitu: Ijma'11 dan Qiyas12.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf13, Istishhab14, Istihsan15, Mashalih Mursalah16, Syar'u man Qablana17 dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.
Kedua: Pembagian dalil dipandang dari Naql dan Ra'yu:
1. Dalil-dalil yang bersifat Naql yaitu: Kitab dan Sunnah. Kedua dalil ini mencakup; ijma', Madzhab Sahabi, Syar'u man Qablana.
2. Dalil-dalil yang bersifat akal yaitu: Qiyas yang mencakup; Istishhab, Istihsan dan Mashalih Mursalah. (juga termasuk Sadzudz Dzara'i-pen).
Madzhab-madzhab Dalam Fiqih
Telah dikatakan di awal, bahwa lapangan ijtihad terdapat dalam nash yang mempunyai dilalah dzhanni, juga dalam perkara-perkara baru. Sehingga hal ini membuat fiqih sarat dengan perbedaan pendapat, sedangkan pendapat-pendapat ini menjadi suatu madzhab ketika memiliki banyak pendukung.
Madzhab-madzhab fiqih ini diantaranya18:
1. Madzhab-madzhab Syi'ah: Az Zaidiah19, Imamiah Itsna'asyariah20 dan Isma'iliyyah21.
2. Madzhab-madzhab Khawarij: Al Azariqah22, Ash Shafriah23 dan An Najdaat24.
3. Madzhab-madzhab Ahlussunnah: Hanafiah25, Malikiah26, Syafi'iyah27, Hanabilah28, Dzahiriah, Al Auza'i, Hasan Bashri, Sufyan Ats Tsauri, Al Laits Ibn Sa'ad, Abu Tsaur, Ath thabari dan Ishaq bin Rahwiyyah.
Epilog
Syari'at Islam tidak terbatas oleh waktu dan tempat, juga tidak terpengaruh oleh budaya-budaya setempat. Namun, slogan syari'at ini akan dianggap omong kosong jika garapan fiqih direduksi sebatas ubudiah semata. Karenanya tugas kita saat ini adalah menggulirkan kembali roda ijtihad, sehingga fiqih dapat merambah sosial-kemasyarakatan dan politik.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu


1. (Qs. Al Baqarah:228)
2. DR. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz: fii Ushuulil Fiqhy, Beirut, 1996, Mu'assasah Ar Risaalah, h.8.
3. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, Taarikh At Tasyrii' Al Islaami, 2001, h. 17
4. DR. Abdul Halim Mahmud, Manhajul Ishlaahil Islaami fil Mujtama', cairo, Maktabah Al Usrah, h.34.
5. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, ibid.
6. Ali Ibn Abi Thalib mengutus Abu Musa Al 'Asy'ari, dan Mu'awiyah mengutus Amr Ibn 'Ash, untuk berunding mengenai kekhilafahan. Yang akhirnya kedua'anya sepakat menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari kekhilafahan dan mengembalikan kekhilafahan kepada rakyat.
7. Nabi bersabda: "Sebaik-baik masa adalah masa ku ini, kemudian masa berikutnya dan masa berikutnya"
8. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2004, h.8.
9. DR. Abdul Karim Zaidan, Op Cit, h. 11.
10. Ibid, h. 148.
11. Ijma' yaitu "Perkara yang disepakati umat Islam". Ijma' terbagi dua; Ijma' Sharih dan Ijma' sukuty
12. Qiyas yaitu "Menggabungkan perkara yang tidak ada nash yang menghukuminya, dengan perkara yang sudah ada nash yang menghukuminya. Dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu 'illah hukum tersebut". Qiyas dibagi kedalam; Qiyas Aula, Qiyas Musawa dan Qiyas Adna..
13. 'Urf yaitu: "Perkara yang sudah menjadi biasa dalm kehidupan sosial, dan diimplementasikan dalam kehidupannya seara perbuatan atau ucapan"
14. Istishhab yaitu: "Menetapkan tetap suatu hukum jika pada awalnya tetap, atau menafikan hukum jika pada awalnya tiada"
15. Istihsan yaitu: "Membiarkan qiyas dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya, baik dari Kitabullah, Sunnah ataupun Ijma'"
16. Mashalih Mursalah yaitu: "Mendatangkan maslahat dan menahan madharat"
17. Syar'u Man Qablana yaitu: "Hukum-hukum yang Allah syari'atkan kepada umat sebelum kita, dengan diturunkannya kepada para Nabi dan Rasul-Nya, agar disampaikan kepada umatnya"
18. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, Op Cit.
19. Madzhab ini dinisbatkan keapda Zaid Ibn Ali Ibn Husein, madzhab ini hampir sama dengan Ahlus Sunnah.
20. Madzhab yang memiliki dua belas Imam.
21. Madzhab ini dinisbatkan pada Imamnya yang bernama Ismail Ibn Ja'far Ibn Muhamma Ash Shadiq
22. Madzhab ini yang mengikuti Nafi' bin Al Azraq. Mereka membolehkan membunuh wanita, anak kecil, Ahlu Dzimmi, dan mengkafirkan semua umat Islam kecuali golongannya sendiri.
23. Madzhab ini yang mengikuti Ziyad Ibn Shafr. Mereka tidak terlalu keras dibandingkan madzhab Al Zarqiah, karena mereka tidak membolehkan membunuh wanita dan anak kecil
24. Madzhab ini yang mengikuti Najd Ibn 'Amir.
25. Imam Madzhab Hanafi yang terkenal sebagai ahli ra’yu dan banyak berijtihad, karenanya disamping beliau mengambil istinbath hukum-hukum syar’i dengan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, perkataan sahabat dan Qiyas, juga beliau mengambil istihsan sebagai landasan akhir dalam beristinbath.
26. Imam Madzhab Maliki yang terkenal sebagai ahli hadits, sehingga lebih memperhatikan keshahihan hadits dengan mengkodifikasikannya dalam satu buku yang bernama Al Muwaththa’. Beliaulah yang mencetus istinbath hukum bisa dengan melihat perilaku penduduk Madinah, juga memakai mashâlih al mursalah.
27. Imam Madzhab Syafi’i yang merupakan pencetus lahirnya kodifikasi Ushul Fiqih dengan bukunya Ar risalah. Beliaulah yang mempertemukan ahlu ra’yi dengan ahlu hadits.
28. Imam Madzhab Hanbali menggunakan Qiyas sebagai istinbath hukum, sebagai usaha darurat jika tidak ada hadits ataupun perkataan sahabat. Beliau mengambil istinbath dengan: Nash (Qur'an dan Sunnah), Fatwa sahabat, Memilih salah satu fatwa sahabat jika mereka berselisih pendapat, mengambil hadits mursal dan hadits dlai'f jika tidak ada hadits lain yang menentangnya, dan Qiyas.

posted by Irfan Kasyaf N at 11:40 AM | 0 Comments
Monday, June 25, 2007
Nikah Beda Agama

Upaya kaum liberalis dalam menggolkan tujuannya tidak hanya berhenti sampai memberikan pemahaman kepada umat beragama bahwa semua agama itu sama, tetapi mereka melanjutkannya pada tarap praktis seperti; menikahkan muslimin dengan non-muslim yang mereka anggap sebagai Ahlul kitab. Padahal, Allah telah memberikan batasan bahwa umat Islam dilarang menikahi para musyrikin1.

Sedangkan mengenai Ahlul kitab, saya merasa wajib mendefinisikan Ahlul kitab dahulu dengan mengambil definisi yang diterangkan para ulama Islam. Tidak sebagaimana para liberalis mendefinisikannya sebagai “Konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci”2, lebih jauh lagi mereka mendefinisikannya sebagai: “mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan tentunya juga percaya kepada salah seorang nabi dan mengakui adanya kitab suci yang menjadi pegangan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengaku pimpinan agamanya sebagai nabi dan mempunyai kitab suci, pengikutnya dapat disebut sebagai Ahli Kitab”. Sehingga dalam keyakinan mereka agama buatan manusiapun mereka anggap sebagai ahlul kitab, karena merekapun memiliki kitab suci, semisal; Budha, Hindu, Kong hu chu, dll

Imam Syafi’i (wafat 204H) dalam kitabnya “Al Umm” menyebutkan definisi Ahlul kitab dengan menyitir ucapan Atha (seorang Tabi’in) yang berkata “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab, ahli kitab adalah keturunan Israel. Yakni orang-orang yang datang kepada mereka kitab Tauret dan Injil. Adapun orang lain yang memeluk agama mereka bukan ahlul kitab”3.

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa Ahlul kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, adapun Yahudi dan Nashrani yang bukan keturunan bangsa Israel bukanlah termasuk Ahlul kitab. Definisi ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Ash Shaf: 6 yang berbunyi “Dan ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ….". Ucapan Nabi Isa As. ini menegaskan bahwa terbatasnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa, yaitu hanya untuk Bangsa Israel dan hanya hingga kedatangan Nabi Muhammad Saw.

Di dalam Injilpun terdapat ayat yang menunjukan keterbatasan ajaran Nabi Isa hanya bagi bangsa Israel “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”4, karena ajaran Nabi-Nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. yang berjumlah 124.000 Nabi, dibatasi oleh tempat (bangsa) dan waktu. Sedangkan Nabi Isa dibatasi hanya untuk satu bangsa (Israel) dan hanya untuk waktu sampai sebelum diutus Muhammad Saw. Adapun Rasulullah adalah penutup para Nabi yang diutus kepada semua bangsa dan untuk masa yang tidak ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”5.

Maka dapat didefinisikan bahwa Ahlul Kitab adalah "Orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, yang masih ada setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw.".

Islam membolehkan muslim laki-laki untuk menikahi wanita Ahlul kitab6, tetapi Islam tidak membolehkan jika muslimah menikahi laki-laki dari Ahlul kitab7. Larangan ini disyari’atkan, agar dapat menjaga aqidah para muslimah dari pengaruh suaminya, karena pengaruh pendidikan suami lebih besar bagi istri ketimbang pengaruh istri bagi suami.

Adapun pembolehannya laki-laki muslim dalam menikahi wanita Ahlul kitab, ini dibatasi oleh syarat umum yang terdapat dalam surat Al Mâidah: 5. Maksudnya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul kitab, jika wanita tersebut termasuk orang yang menjaga kehormatannya (Al Ihshân). Imam Al Qurthubi menyitir ucapan Ibn Abbas dalam menafsirkan kalimat Al Ihshân, beliau berkata “Al Ihshân ditafsirkan sebagai, wanita Ahlul kitab yang suci dan berakal”8.

Tetapi, syarat umum ini masih terikat oleh syarat-syarat khusus yang terdapat di dalam ayat-ayat lainnya. Artinya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab jika wanita itu termasuk Al Ihshân (syarat umum) dan termasuk pada syarat-syarat khusus di bawah ini:

1. Wanita Ahlul kitab keturunan bangsa Israel, karena Ahlul kitab adalah mereka yang berasal-usul dari keturunan bangsa Israel9.

2. Wanita Ahlul kitab yang mempercayai ke-Esa-an Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw10.

Syarat nomor dua ini dimasukkan, karena orang yang menyatakan bahwa Isa atau Uzair adalah anak/tuhan, mereka itu disebut juga para musyrikin sekaligus kafir. Karenanya Abdullah Ibn Umar pernah berkata “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman. Dan aku (Ibn Umar) tidak melihat ada kemusyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa (Yesus), padahal Isa adalah hamba Allah”11. Ahlul kitab yang dimaksud disini adalah mereka yang bermadzhab Arius (dalam Kristen) yang menyatakan dalam Konsili Nikea tahun 325M bahwa “Yesus tidak bersifat azali (azali: ada yang tidak didahului oleh tidak ada), Yesus diciptakan oleh Allah, dia tidak menyamai substansi (jauhar) Allah”. Namun mayoritas madzhab ini diusir, dibunuh dan dibakar buku-bukunya oleh madzhab Athanasius (aqidah trinitas) pada penjagalan yang bernama “Lembaga Inkuisisi”.

Kedua syarat ini tidak berarti mengubah nash qath’i (teks mapan) dalam Al Qur’an yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi ini adalah upaya mengikat syarat yang umum dengan syarat-syarat yang khusus, agar muslimin tidak salah dalam memilih wanita Ahlul kitab. Upaya pengikatan syarat umum ini telah dilakukan oleh Umar Ibn khathab pada masa kekhilafahannya, beliau melarang Thalhah Ibn Ubaidillah dan Hudzaifah yang hendak menikahi wanita Ahlul kitab. Beliau beralasan, khawatir jika wanita Ahlul kitab yang akan dinikahi Thalhah dan Hudzaifah berkhianat dan keluar dari syarat Al Ihsan, yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an12.

Lebih lanjut lagi, Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitab “Al Umm”nya “Menikahi orang-orang baik (wanita Al Ihshân. pen) dari golongan Ahlul kitab hukumnya halal, meski aku lebih suka orang Islam tidak menikahi mereka. Aku diberitahu Abdul Majid dari Ibn Juraij dari Abu Zubair, bahwa Abu Zubair mendengar Jabir Ibn Abdullah ra. pernah ditanya tentang pria muslim yang menikahi wanita Yahudi atau wanita Nashrani. Jabir menjawab, ‘Aku dan Sa’ad Ibn Abi Waqqash pernah menikahi wanita Ahlul kitab semasa penaklukan Kufah (Irak) oleh karena kami tidak mendapati banyak wanita muslimat di sana ketika itu. Lalu kami kembali ke Madinah, kami menceraikan mereka’. Kata Jabir lagi, ‘Mereka tidak berhak mewarisi harta seorang muslim, dan sebaliknya orang muslim tidak berhak mewarisi harta mereka. Wanita Ahlul kitab boleh dinikahi oleh muslim, tapi wanita muslimah haram dinikahi oleh mereka’,”13.

Dari kisah Jabir ini dapat disimpulkan bahwa, ada dua kondisi yang harus diperhitungkan ketika akan menikahi wanita Ahlul kitab :

Pertama, mereka dalam kondisi masa penaklukan (Al Fath). Artinya, menikahi wanita Ahlul kitab itu ketika Islam menang atas mereka. Jadi, pernikahan itu boleh dilakukan hanya dalam Negara Islam, dimana pemerintahan Islam punya kekuasaan untuk memelihara keluarga muslim. Dan lagi, wanita Ahlul kitab itu berada dalam wilayah negeri Islam.

Kedua, mereka dalam kondisi nyaris tak mendapat wanita muslimah.

Namun, meskipun dua kondisi itu sudah terpenuhi, dua orang sahabat dalam riwayat di atas toh pada akhirnya menceraikan mereka14. Maka penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i yaitu membolehkan menikahi wanita Ahlul kitab, namun yang sesuai dengan syarat-syarat di atas. Tapi, penulis lebih menyarankan jika orang Islam tidak menikahi mereka, disamping demi menjaga diri dan keluarga dari api neraka15, juga karena masih banyak wanita muslimah yang belum menikah.
Foot Note:

1. QS. Al Baqarah: 221

2. Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h. 42

3. Asy Syafi'i, Al Umm, Beirut, Dar El Kutub El Ilmiah, Jil. V, h. 11

4. Matius 15:24

5. QS. Al Anbiyâ: 107

6. QS. Al Mâidah: 5

7. QS. Al Mumtahanah: 10

8. Al Qurthubi, Al Jâmi'u Li Ahkâmil Qur'ân, Egypt: Al Maktabah At Taufîqiyyah. Jil. VI, h. 70

9. QS. Ash Shaf: 6

10.QS. Al Baqarah: 221

11. Dr. Rauf Syalabi, Terj; Distorsi Sejarah dan Ajaran YESUS, Jaktim: Pustaka Al Kautsar, 2001, h. 197

12. Yusuf Qardhawi, As Siyâsah Asy Syar’iyyah, Egypt: Maktabah Wahbah, 1997,h. 209

13. Asy Syafi'i, Op cit. Jil. V, h. 10

14. Dr. Rauf Syalabi, Op cit. h. 196
15. QS. At Tahrîm: 6

posted by Irfan Kasyaf N at 2:54 PM | 0 Comments
Menyoal Ta'adudd Az Zaujât (Poligami)

(Studi Kritis)

Prolog
Tidak diragukan lagi, Allah menurunkan syari'at bagi umat manusia, tidak lain hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan umatnya. Begitu pula dengan Rasulullah Saw. beliau tidak akan berkata melainkan setelah diwahyukan oleh Allah kepadanya, sehingga hawa nafsu tidak ikut campur dalam setiap kebijakan beliau1.
Apatah daya, terkadang manusia membelot dan membangkang syari'at yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Mereka mencoba merasionalisasikan pembelotannya, agar banyak yang merasa kagum dan setuju kepada hasil analisa yang dipaksakannya. Sikap ini telah lama muncul di negeri kita sendiri, salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan Islam liberal.
Berlepas dari apa tujuan mereka melakukan pengkaburan dalam memahami syari'at, yang pasti pemahaman ini sudah banyak meracuni kaum muslimin sempalan. Bahkan sampai-sampai para pembelot ini mereka anggap sebagai para alim, yang harus diikuti dan diperjuangkan setiap fatwanya. Padahal, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)"2.
Diantara banyaknya cara yang digunakan oleh para pembelot syari'at ini, saya hanya akan membahas dua permasalahan yang sering mereka munculkan di setiap diskusi ataupun buku mereka. Dalam makalah ini saya akan membahas seputar Ta'addud Az Zaujât (Poligini) dilengkapi syubhat-syubhat yang sering mereka lontarkan dalam masalah ini, juga saya akan membahas tentang Nikah beda Agama yang mereka anggap sikap ini adalah aplikasi dari persamaan agama-agama.
Ta'addud Az Zaujât
Ta'addud Az Zaujât telah lama dikenal oleh umat manusia, baik oleh pihak yang membolehkan ataupun dari pihak yang tidak membolehkannya. Pertentangan ini muncul karena manusia tidak paham akan hikmah (Maqâshid) yang terkandung dalam pensyari'atannya, juga karena mereka mendahulukan hawa nafsu dari pada akalnya. Sehingga tidak sedikit ketika kata Ta'addud Az Zaujât dimunculkan ke permukaan, mereka malah mendahulukan prasangka buruk. Seakan-akan Ta'addud Az Zaujât lebih kejam dari pada isu teroris yang sedang hangat pada masa ini, padahal Ta'addud Az Zaujât telah ada dan dipraktikan sebelum adanya risalah kenabian.

I. Ta'addud Az Zaujât pra-Risalah Saw
Ta'addud Az Zaujât sudah dilakukan ratusan tahun sebelum datangnya risalah kenabian Muhammad Saw:
1. Yahudi. Dalam ajaran Yahudi dengan kitab Tauratnya (Perjanjian Lama), terdapat banyak disebutkan para pemimpin dahulu bahkan para Nabi melakukan Ta'addud Az Zaujât. Dalam kitab Tauret disebutkan secara terang-terangan akan pembolehan Ta'addud Az Zaujât, sebut saja Nabi Sulaiman dan Nabi Daud diterangkan memiliki banyak istri3.
2. Nasrani. Begitu pula dengan ajaran Nasrani menyetujui Ta'addud Az Zaujât, karena Nabi Isa As berkata "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya"4.
3. Jaman Jahiliyyah. Pada masa inipun Ta'addud Az Zaujât malah semakin banyak orang melakukannya, karena mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dari pada syari'at ataupun akalnya. Sebab itu ketika risalah kenabian Muhammad Saw mulai diangkat, maka Islam membatasi hawa nafsu umat manusia dengan cara membatasi Ta'addud Az Zaujât hanya sampai empat istri.
Dari rangkaian sejarah ini, kita bisa memiliki kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia dan merupakan kebutuhan yang dlaruri. Tapi, para pembelot (Munharif) tetap saja akan mencari alasan agar bisa membenarkan perbuatannya.

II. Syubuhât terhadap Ta'addud Az Zaujât
Sebagaimana telah disebutkan di atas, wacana Ta'addud Az Zaujât ini telah membuat hati-hati orang yang lemah imannya menjadi gamang dan malah berbalik menolak. Penolakan ini baik itu muncul dari kaum laki-laki ataupun dari wanita, bahkan kaum wanita sering mengatakan bahwa mereka menolak Ta'addud Az Zaujât karena mereka lebih mengenal sifat kewanitaanya dari pada laki-laki yang hanya ingin mengumbar hawa nafsu saja. Padahal, Allahlah yang menciptakan wanita, Dia lebih mengetahui kepribadian mereka sehingga syari'at Ta'addud Az Zaujât tidak akan sampai memadlaratkan mereka5 "... Katakanlah:"Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah..."6.
Disini saya akan menyebutkan sebagian syubuhât yang ditujukan para pembelot terhadap Ta'addud Az Zaujât:
1. Ta'addud Az Zauât adalah proses dehumanisasi perempuan:
Dalam menjustifikasi pembelotannya, mereka suka berkata "Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan". Dari perkataan ini mereka telah jelas mengatakan bahwa Ta'addud Az Zaujât tidak memanusiakan wanita.
Alasan ini bermula karena mereka tidak paham maqâsid dari Ta'addud Az Zaujât, dan meskipun mereka paham mereka sengaja menutupinya dengan memakai cara pandang budaya dan kepatutan umum (public decency). Padahal public decency di setiap tempat berbeda-beda pandangannya, dan ini satu sama lain akan mengalami pertentangan karena yang membuat adalah manusia. Contohnya, di Amerika menurut public decencynya mengakui bahwa arak hukumnya halal, karena rakyat Amerika menyukainya, apakah umat Islam mesti mengikuti pengakuan seperti ini?!. Mereka seakan-akan memaksakan syari'at mesti mengikuti public decency. Juga mereka tidak menyadari bahwa Islam memiliki public decency tersendiri, yang memiliki sandaran Al Qur'an dan Sunnah yang tidak akan tersentuh dengan subjektivitas.
2. Siapapun tidak akan bisa berbuat adil:
Alasan ke-dua ini mereka ambil dari surat An Nisa ayat 3 dan ayat 129. Meskipun mereka mengambil alasan dari ayat Al Qur'an, mereka tetap lemah alasannya. Karena mereka tidak memahami makna ayat yang disebutkan tadi.
Memang, dalam surat An Nisa ayat ke-3 Allah berfirman "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...". Dan dalam ayat ke 129 Allahpun berfirman "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...". Namun maksud dari kedua ayat ini bahwa Islam mewajibkan suami agar bersikap adil kepada istri-istrinya dalam hal memberikan nafkah lahir, akan tetapi berbuat adil diantara para istri dalam hal cinta dan kasih sayang, suami tidak bisa melakukannya7.
Meskipun Allah berfirman bahwa manusia tidak akan bisa berbuat adil dalam masalah hati, tapi Allah menggantikannya agar manusia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya dalam perkara dzahir. Dan ini pasti akan bisa dilaksanakan, karena Allah tidak akan memerintahkan suatu syari'at jika manusia tidak mampu mengembannya8. Bahkan dalam ayat-ayatnya yang lain, Allah memerintahkan agar manusia senantiasa berbuat adil9.
3. Nabi Muhammad Saw Melarang Ta'addud Az Zaujât:
Tuduhan mereka ini sekarang diambil dari Sunnah Rasul, mereka berkata "Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi Saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad Saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026)".
Teks hadits yang mereka sebutkan ini telah dipotong dengan kebutuhan hawa nafsu mereka, sedangkan teks aslinya adalah:
- حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ الدُّؤَلِيُّ، أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ الْحُسَيْنِ حَدَّثَهُ أَنَّهُمْ، حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ مِنْ عِنْدِ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ مَقْتَلَ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رضى الله عنهما لَقِيَهُ الْمِسْوَرُ بْنُ مَخْرَمَةَ فَقَالَ لَهُ هَلْ لَكَ إِلَىَّ مِنْ حَاجَةٍ تَأْمُرُنِي بِهَا قَالَ فَقُلْتُ لَهُ لاَ ‏.‏
قَالَ لَهُ هَلْ أَنْتَ مُعْطِيَّ سَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَغْلِبَكَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ وَايْمُ اللَّهِ لَئِنْ أَعْطَيْتَنِيهِ لاَ يُخْلَصُ إِلَيْهِ أَبَدًا حَتَّى تَبْلُغَ نَفْسِي إِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ عَلَى فَاطِمَةَ فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ فِي ذَلِكَ عَلَى مِنْبَرِهِ هَذَا وَأَنَا يَوْمَئِذٍ مُحْتَلِمٌ فَقَالَ ‏"‏ إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّي وَإِنِّي أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِي دِينِهَا ‏"‏ ‏.‏
قَالَ ثُمَّ ذَكَرَ صِهْرًا لَهُ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ فَأَثْنَى عَلَيْهِ فِي مُصَاهَرَتِهِ إِيَّاهُ فَأَحْسَنَ قَالَ ‏"‏ حَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي وَوَعَدَنِي فَأَوْفَى لِي وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا ‏"‏ ‏.‏

Hadits yang mereka sebutkan ini tidak menunjukkan bahwa Ta'addud Az Zaujât itu dilarang, karena pelarangan Nabi ini ditujukan kepada Bani Hasyim yang hendak menikahkan putrinya kepada Ali Ibn Abi thalib. Sedangkan wanita yang minta dinikahi Ali tersebut adalah putri dari musuh Allah, inilah yang menyebabkan Nabi tidak rela jika putrinya disatukan dengan anak dari musuh Allah. Juga, hadits ini menegaskan bahwa mertua berhak melarang menantunya yang akan Ta'addud Az Zaujât, meskipun tetap keputusan ini tergantung pilihan menantunya.
4. Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami:
Berikutnya, alasan yang sering mereka suarakan baik di berbagai web site yang mereka buat, ataupun di media elektronik lainnya, mereka berpendapat "Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi Saw bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid ra, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Saya katakan, yang mesti kita lihat dari sirah nabi ini bukanlah kalkulasi masa nabi bermonogami, tetapi yang dilihat adalah nabi telah melaksanakan anjuran Allah untuk melaksanakan Ta'addud Az Zaujât. Disamping itu Ta'addud Az Zaujât hukumnya mubah (boleh), sehingga Nabi tidak serta merta melaksanakannya, sampai Allah menentukan Nabi agar menikahi perempuan yang lain.

III. Beberapa kemungkinan yang bisa di hadapi para suami
Setelah bersama mempelajari beberapa alasan yang dilontarkan mereka di dalam menolak syari'at Allah, kita bisa mengambil ibrah dari banyak fenomena yang terjadi, dimana fenomena ini mendorong adanya Ta'addud Az Zaujât. Fenomena itu diantaranya:
1. Istri terserang penyakit. Jika sampai istri terserang penyakit yang kronis, sehingga dia tidak bisa melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangganya, mendidik anak-anak dan memberikan hak-hak kepada suami. Apakah layak membiarkan suami terkatung-katung haknya?.
2. Istri mandul. Begitu juga bagaimana jika memiliki istri yang tidak bisa memberikan penerus (mandul), meskipun pengobatan sudah dijalani dengan berbagai cara. Pada suatu masa, perjuangan ini akan berakhir dengan kebosanan, sedangkan keinginan memiliki anak tidak akan hilang. Apakah dengan mengangkat anak angkat lebih baik dari pada memiliki anak dari darah daging sendiri, meskipun itu bukan dari rahim istri pertama?.
3. Wanita akan mengalami masa menopause. Dari salah satu fitrah wanita mereka akan mengalami masa menopause, dan masa ini sangat cepat datangnya yaitu di akhir umur 45 tahun. Setelah masa ini suami akan merasakan kehilangan sebagian haknya sebagai suami, padahal "nafkah batin itu yang menjadi jalan pemuasan nafkah zahir"10. Apakah sang istri akan rela jika suaminya menjadi "Om-Om Senang", ataukah membiarkan suami dan keluarga selamat dari api neraka dengan membiarkannya memiliki istri lain?.
4. Jumlah wanita lebih banyak. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda tentang ciri-ciri dekatnya kiamat salah satunya adalah: "...dan berkurangnya laki-laki serta wanita bertambah, sampai 50 wanita berbanding satu orang (laki-laki)..."11. Juga sebagaimana ucapan Ibn Abbas kepada Sa'id Ibn Jabir "Menikahlah, karena kebaikan umat ini adalah banyaknya jumlah wanita"12. Sabda Nabi dan ucapan Salafunâ Ash Shâlih ini memang terjadi pada masa ini, dimana jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Apakah lebih baik menelantarkan kaum wanita yang belum menikah tanpa perlindungan dan pendidikan suami, sehingga pada jaman ini sudah banyak para wanita tuna susila?.

A.IV. Membela Syari'at
Dari pelajaran yang telah kita renungkan mengenai masalah Ta'addud Az Zaujât ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia. Serta itu merupakan hak seorang suami yang telah Allah tetapkan dalam Al qur'an, dan kaum wanita tidak bisa beralasan bahwa dengan adanya Ta'addud Az Zaujât hak-hak mereka telah diperkosa. Padahal sebaliknya, kaum laki-lakilah yang diperkosa haknya jika hal ini dilarang. Disamping itu, memang merupakan syari'at Allah bagi umatnya. Sebagaimana firman-Nya "... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."13.
Maka selayaknya kita (wanita dan laki-laki) membela syari'at yang telah ditetapkan agama Islam, karena para ulama Islam telah menetapkan murtad bagi orang yang menolak atau membenci sesuatu yang datang dari Kitabullah. Dan mereka yang menolak Ta'addud Az Zaujât, atau yang berpendapat bahwa Ta'addud Az Zaujât merupakan tindakan mendzalimi dan menganiyaya wanita, atau mereka yang membencinya. Maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan mereka dari agama, sebagaimana firman Allah Swt "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka"14.

A.V. Mengikat Ta'adud Az Zaujât
Syari'at yang ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw bisa berdampak negatif, jika dalam menjalankannya lebih mengedepankan hawa nafsu. Karenanya di dalam pensyari'atan pasti ada syarat yang mesti dijalankan juga. Begitupula dalam pensyari'atan Ta'addud Az Zaujât terdapat berbagai syarat agar para kaum lelaki tidak salah dalam bertindak, misalkan mereka bertujuan hanya untuk memenuhi syahwatnya. Syarat-syarat melaksanakan Ta'addud Az Zaujât:15
1. Suami mampu berbuat adil diantara istri-istrinya: sebagaimana firman-Nya "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
2. Mampu menghadapi segala fitnah dari istri-istri dan tidak menghilangkan hak-hak Allah: sebab Allah telah berfirman "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..."16
3. Mampu memberi pelayanan yang baik kepada istri-istri: agar tidak berdampak keburukan dan kerusakan terhadap istri-istri, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Nabipun pernah bersabda "Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk bâ'ah (jima'), maka menikahlah"17.
4. Mampu memberikan nafkah kepada istri-istri

Epilog
Para Munharif di setiap masa pasti akan ada, bagaimanapun mereka melancarkan misinya, tetap kebenaran akan selamanya terdepan. Maka, tugas kita kali ini adalah menghidupkan kebenaran agar kebathilan tenggelam. "Dan katakanlah:"Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap"18.


Foot Note:

1 QS. An Najm:3

2 QS. 6:50

3 Samuel 12:8

4 Matius 5:17

5 Muhammad Ibn Abdullah Al Hamûd, Limâdza At Ta'addud?, Saudi Arabia: Dâr Ibn Khuzaimah, 2001, hal.4

6 QS. Al Baqarah: 140

7 Dr. Ahmad Muhammad Al Hûfi, Samâhatul Islam, Egypt: Maktabah Al Usrah, hal. 21

8 QS. Al Baqarah: 286

9 (QS. 4:58) (QS. 5:8&42) (QS. 16:90)

10 Ibnu Yusof, Permata Yang Hilang, Kelantan: Al-Kafilah Enterprise, 1995, hal.3

11 HR. Bukhari no. 5231 dan Muslim no. 2671

12 HR. Bukhari no. 5069

13 QS. An Nisa: 3

14 QS. Muhammad: 9. Muhammad Ibn Abdullah Al Hamûd, Op cit. hal. 11.

15 Abu Mâlik Kamal Ibn As sayid Sâlim, Shahih Fiqh Sunnah, Egypt: Al Maktabah At Taufîqiyyah, 2003, Jil. III, hal. 216

16 QS. At Taghâbun: 14

17 Muttafaq 'Alaih

18 QS. Al Baqarah: 221


posted by Irfan Kasyaf N at 2:44 PM | 0 Comments
Thursday, November 23, 2006
Zakat dengan Qimmah

(Studi Komparatif)

Prolog
Allah Swt. mensyari’atkan zakat, karena di dalam pelaksanaannya terdapat banyak kemaslahatan yang dapat dipetik. Zakat merupakan bukti dari adanya kesadaran antar manusia yang bisa melahirkan kesejahteraan sirkulasi hidup, ia dapat mengentaskan kemiskinan dan dapat menyelamatkan manusia dari kerugian di dunia dan di akhirat. Disamping itu, zakat dapat meminimalisir sifat kikir, materialistik, individualistik dan egoistik (Ananiyah). Sedangkan sifat bakhil adalah sifat yang terela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah1.
Kewajiban mengeluarkan zakat ini sama dengan wajibnya kita melaksanakan shalat lima waktu. Sebab itu pada waktu terjadinya penolakan sebagaian kaum muslimin untuk membayar zakat pada masa kekhilafahan Abu Bakar ra., beliau memerangi mereka dengan alasan “Saya tidak akan memisahkan sesuatu yang telah Rasul satukan”. Maksudnya, beliau tidak akan membedakan kewajiban mengeluarkan zakat, dengan kewajiban melaksanakan shalat, karena Nabi disetiap sabdanya selalu menyatukan Shalat dengan zakat, bahkan Nabi diperintahkan Allah agar membunuh orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak melaksanakan shalat serta tidak mengeluarkan zakat.
Dalam makalah kali ini penulis akan membahas pendapat para ulama mengenai pembayaran zakat dengan Qimmah (nilai mata uang), penulis harap dengan tulisan ini tidak sampai mengurangi keluasan ilmu para ulama, karena ini semua tidak terlepas dari kekurangan penulis.
Sebelum beranjak pada pembahasan utama, perlu diketahui bersama bahwa para ulama fiqih menyepakati bolehnya mengganti pembayaran zakat yang semestinya (A’in Waajibah) dengan sesuatu yang lain. Ketika Nabi Saw. memerintahkan agar membayar zakat Fitrah dengan memberikan satu sha’2 kurma (Tamr), atau gandum (Sya’iir) atau Kismis (Zabiib). Menurut para ulama fiqih, membolehkan mengganti dengan yang lain jika ketiga makanan tersebut tidak ada, misalkan dengan beras, jagung, adas dan yang semisalnya.
Sebab terjadinya ikhtilaf
Setelah para ulama fiqih menyepakati bolehnya mengganti A’in Waajibah dengan sesuatu yang lain, mereka berbeda pendapat dalam penghukuman mengganti A’in pembayaran zakat dengan Qimmah. Hal ini menurut penulis para ulama fiqih berbeda pendapat karena dua sebab:
Para ulama berbeda pandangan dalam pembatasan bahan pengganti dari A’in Waajibah. Sebagian berpendapat bahwa bahan pengganti tersebut mencakup di dalamnya Qimmah, pendapat lain mengatakan bahan pengganti tersebut hanya terbatas pada bahan pangan dan bahan yang ditetapkan secara langsung oleh Rasulullah.
Para ulama berbeda pandangan dalam penetapan maslahat dari penggantian A’in Waajibah. Ada yang berpendapat bahwa bahan pangan lebih dibutuhkan oleh Mustahiq zakat, pendapat lain berpendapat bahwa uang lebih dibutuhkan dari pada bahan pangan.
Dalil-dalil masing-masing pendapat
Para ulama fiqih terbagi menjadi dua pendapat dalam mengeluarkan Qimmah sebagai pengganti A’in Waajibah3:
1. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh mengganti A’in Waajibah dengan Qimmah. Pendapat ini diusung oleh Madzhab imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan imam Abu Daud, mereka mengambil dalil:
Dari Sunnah:
- Rasulullah Saw. “Mewajibkan zakat fitrah dengan kurma satu sha’, atau satu sha’ dengan gandum...”4. Madzhab ini mengatakan: dalam teks hadits ini tidak disebutkan pembayaran zakat dengan Qimmah, kalaulah diperbolehkan maka mesti disebutkan dalam hadits tersebut.
Dari Atsar Sahabat:
- Abu Bakar ra. mewajibkan zakat sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya “Siapa saja yang wajib membayar zakat untanya dengan Jadza’ah5, lalu dia tidak mempunyai jadza’ah tapi dia mempunyai hiqqah6, maka boleh diterima hiqqahnya ditambah dengan dua ekor kambing jika hal ini memudahkan baginya, atau ditambah dengan dua dirham...”7. Pengusung pendapat ini mengatakan: kalaulah Qimmah diperbolehkan maka Abu Bakar ra. tidak akan membatasi ukuran Qimmahnya, tapi diharuskan adanya keterkaitan antara Qimmah dengan A’in Waajibah.
- Menurut imam Asy Syaukani: Kebijakaan yang ditentukan dalam hadits Abu Bakar ra. tersebut menunjukkan tidak disyari’atkannya pembayaran dengan Qimmah, karena jika memang disyari’atkan maka kebijakan Abu Bakar ra. tersebut menjadi sia-sia8.
- Abu Bakar ra. menulis surat untuk penduduk Bahrain yang berisi tentang pembayaran zakat “....dalam dua puluh lima unta (zakatnya) satu binti makhadl9, jika tidak ada binti makhadl diganti dengan ibn labun10....”11. Pengusung pendapat ini mengatakan: kalaulah zakat dengan Qimmah diperbolehkan, maka dalam hadits ini mesti dijelaskan.
Dari Akal:
- Pensyari’atan dalam teks dalil yang menunjukan pada wajibnya zakat tidak boleh diganti, sebagaimana tidak boleh mengganti teks-teks dalil tentang pelaksanaan Qurban atau Kifarat.
- Zakat diwajibkan agar membayar/memenuhi kebutuhan faqir miskin dan sebagai tanda syukur atas ni’mat harta. Sedangkan kebutuhan orang bermacam-macam, maka mesti memberikan zakat dengan A’in yang berbeda-beda (tidak dengan Qimmah yang hanya satu bentuk).
- Pendapat imam Abu Hanifah -rahimahullah- tertolak, karena (Tidaklah Tuhanmu itu pelupa) kalaulah Qimmah diperbolehkan, maka Allah dan rasul-Nya akan menjelaskannya. Maka kita wajib berhenti dan mengambil dhahir teks tanpa perubahan dan tanpa penafsiran12.
- Tidak boleh membayar zakat dengan Qimmah kecuali jika tidak ada A’in waajibah dan tidak ada yang sejenis dengan A’in Waajibah. Karena zakat merupakan ibadah, sedangkan ibadah tidak sah kecuali dengan hal-hal yang sudah diperintahkan oleh syara’. Sehingga faqir miskin dapat merasakan bahan pangan sebagaimana yang dirasakan orang kaya13.

2. Pendapat kedua mengatakan boleh mengganti A’in Waajibah dengan Qimmah, meskipun ada A’in Waajibah ataupun ada yang sejenis dengan A’in Waajibah . Pendapat ini diusung oleh Madzhab imam Abu Hanifah, imam Ats Tsauri dan imam Bukhari, mereka mengambil dalil:
Dari Atsar Sahabat:
- Abu Bakar ra. menulis surat untuk penduduk Bahrain yang berisi tentang pembayaran zakat “dalam dua puluh lima unta (zakatnya) satu binti makhadl, jika tidak ada binti makhadl diganti dengan ibn labun”. Dari surat Abu Bakar ra. ini menunjukkan bahwa A’in Waajibah bisa diganti dengan yang lainnya, termasuk dengan Qimmah.
- Abu Bakar ra. mewajibkan zakat sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya “Siapa saja yang wajib membayar zakat untanya dengan Jadza’ah, lalu dia tidak mempunyai jadza’ah tapi dia mempunyai hiqqah, maka boleh diterima hiqqahnya ditambah dengan dua ekor kambing jika hal ini memudahkan baginya, atau ditambah dengan dua dirham...”. Perkataan Abu Bakar ra. ini dengan jelas membenarkan Qimmah bisa mengganti A’in Waajibah.
- Mu’adz Ibn Jabal berkata kepada pemduduk Yaman “Berikan kepadaku baju khamis- atau baju bekas-dalam pembayaran zakat pengganti gandum dan jagung, sebab ini lebih mudah bagi kalian dan lebih dibutuhkan bagi para sahabat Nabi Saw. yang berada di Madinah”14. Perkataan Mu’adz ini dengan jelas membenarkan Qimmah mengganti A’in Waajibah.
Dari Akal:
- Maksud dari pembayaran zakat adalah agar bisa memperkaya orang miskin, sedangkan menjadi kaya berhasil dengan Qimmah –sebagaimana juga dengan A’in Waajibah-. Dan mungkin kemiskinan bisa diberantas dengan membayar Qimmah.
- Abu Hanifah membolehkan membayar dengan Qimmah, tanpa melihat mampu membayar dengan A’in Waajibah, ataupun tidak. karena zakat adalah haq bagi faqir miskin, sedangkan Qimmah tidak ada bedanya dengan A’in Waajibah15.
- Boleh mengeluarkan zakat wajib dengan mata uang –bahkan ini lebih utama- karena lebih banyak manfaatnya bagi faqir miskin16.
Pendapat yang Rajih (kuat)
Setelah penulis cantumkan beberapa dalil antara dua pendapat dan membandingkannya, penulis menyimpulkan bahwa para ulama fiqih -dengan luasnya keilmuan mereka- saling berijtihad mempertahankan pendapatnya. Ini didasari karena keumuman pendapat dalam memahami pengganti A’in Waajibah, juga karena para ulama memandang dan menyadari kemaslahatan zakat bagi faqir miskin. Maka, penulis memberikan apresiasi sebesar-besarnya pada para ulama yang terlah berijtihad tentang hal ini, sehingga penulis tidak dapat memihak kepada salah satu diantara dua pendapat. Tapi penulis mengambil pendapat yang disetujui Syaikh Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim17, dan beliaupun mengambil pendapatnya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah –rahimahullah- yang bersikap netral dalam pembahasan ini. Artinya, tidak seratus persen membolehkan zakat dengan Qimmah, juga tidak seratus persen melarangnya. Tapi beliau berpendapat membolehkan mengeluarkan zakat dengan Qimmah tapi dengan syarat adanya tiga hal: kebutuhan yang sangat, lebih maslahat dan jika lebih dirasakan adil.
Yang perlu diluruskan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tidak ada nash secara Shariih yang membolehkan pembayaran zakat dengan Qimmah. Yang hal ini dapat disimpulkan bahwa pembayaran zakat dengan Qimmah tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada sesuatu sebagai pembanding. Maka, pembayaran zakat dengan Qimmah mesti diukur sesuai dengan ukuran A’in Waajibah.
Misalkan, jika harga satu kilo beras18 sebanyak LE. 2, maka Muzakki mesti membayar zakat fitrah seharga dua kilo setengah (2½ kg.) beras, yaitu LE. 5. Atau sebagaimana kebijakan Abu Bakar ra. mengenai orang yang mesti membayar zakat unta dengan Jadza’ah, lalu muzakki tersebut hanya mempunyai hiqqah, maka -menurut Abu Bakar ra.- hiqqah tersebut bisa menggantikan Jadza’ah dan mesti ditambah dengan dua ekor kambing, atau dua ekor kambing diganti dengan dua dirham (sesuai harga per-ekor).
Epilog
Syari’at Islam tidak akan menafikan kemaslahatan (Mashaalih), karena di dalam syari’at pasti terkandung berbagai kemaslahatan bagi umatnya. Begitupun dalam pembahasan pembayaran zakat dengan Qimmah, ketika para ulama berijtihad menterjemahkan teks-teks dalil yang berkenanan tentang hal ini, mereka tidak lepas dari menengok kemaslahatan ummat, selama hal ini tidak mengubah (Tahriif) teks-teks dalil qath’i.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

Foot note:
1. QS. An Nisa: 37
2. Menurut ulama Hanafiah satu sha’ sebanding dengan 3261.5 gr, sedangkan menurut ulama selain Hanafiah satu sha’ sebanding dengan 2172 gr.
3. Dalam hal ini penulis banyak menyitir tulisannya Syaikh Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim dalam Shahiih Fiqhus Sunnah, jil. II, hal 62-63. dan sebagian kecil dari kitab-kitab fiqih lainnya.
4. HR. Bukhari No. 1504 dan Muslim No. 984
5. Unta betina yang baru akan memasuki umur 5 tahun.
6. Unta betina yang baru akan memasuki umur 4 tahun.
7. HR. Bukhari No. 1453
8. Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nailul Authaar, Kairo: Daul Hadits, 2000, jil. IV, hal. 515
9. Unta betina umur 2 tahun.
10. Unta jantan yang baru akan memasuki umur 3 tahun.
11. HR. Bukhari, Abu Daud dan An Nasa’i
12. Abdul Adhzim Ibn Badawi Al Khalfi, Al Wajiiz; fii fiqhis Sunnah wal Kitaabil A’ziiz, Mesir: Dar Ibn Rajab, 2001, hal. 230-231
13. As Said Saabiq, Fiqhus Sunnah, Kairo: Maktabah Dar At Turats, juz I, hal. 274-275
14. Sanadnya dlai’f, menurut Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim
15. As Said Saabiq, Fiqhus Sunnah, Kairo: Maktabah Dar At Turats, juz I, hal. 275
16. Abdurrahman Al Jaziiri, Kitaabul Fiqhu ‘alal Madzaahibil Arba’ah, Kairo: Dar Al Manar, 2001, jil. I, hal. 504
17. Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim, Op Cit, jil. II, hal. 63-64
18. Jenis harga beras sesuai dengan yang biasa dikonsumsi oleh Muzakki.

posted by Irfan Kasyaf N at 8:09 AM | 0 Comments
Keberagaman Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat

Upaya pengenalan global epistemologi, ontologi dan aksiologi dua pemikiran


Prolog
Berpikir adalah proses menemukan kepastian sesuatu yang dicari oleh akal manusia. Dikarenakan berpikir tidak memerlukan batasan tempat dan waktu ataupun kondisi khusus, maka tiada siapapun yang dapat melarang orang lain untuk berhenti berpikir. Kebebasan berpikir inilah yang dapat membuat dunia beraneka ragam, serba baru, dan indah dan. Sehingga dengan kehebatan berpikir, dapat mengangkat kedudukan manusia dibandingkan makhluk Allah Swt. lainnya. Firman Allah Swt. “Dan bersujudlah kepada Adam…”1 merupakan fi’il Amr yang ditujukkan Allah kepada seluruh makhluk, karena tingginya kedudukan Adam as. dibandingkan makhluk lainnya disebabkan kelebihan akalnya yang diamtaranya bisa menyebutkan nama-nama ciptaan Allah Swt.
Akal –sebagai alat berpikir manusia- bisa mengangkat kedudukan manusia jika hal itu digunakan dengan baik, baik itu digunakan dengan tujuan agar mendapat ridla Allah ataupun tidak. Kenapa demikian?, karena tidak sedikit ilmuan non-muslim yang tinggi “kedudukannya” dibandingkan muslim yang tidak berpikir, padahal mereka tidak mengharap ridla Allah dan bahkan tidak mengenal adanya eksistensi Mutlak (Tuhan). Karena, ini semua adalah janji Allah bagi para ilmuan, apalagi jika ilmuan itu mengimani keEsaan Allah Swt maka kedudukannya lebih tinggi dari pada ilmuan yang tidak beriman2.
Dampak dari berpikirnya manusia sangat berpengaruh pada banyak aspek kehidupan, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, moral dan bahkan pada pemikiran itu sendiri. Dampak ini muncul karena manusia dengan akalnya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang benar dan mana yang salah, disamping manusia juga sudah diberikan kuasa untuk memilih ilham ketaqwaan atau keburukan yang diberikan Allah Swt3. Adapun wahyu berfungsi untuk membenarkan apa yang dianggap akal itu benar dan menambahkan apa yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Sebab bagaimanapun juga, kita mesti mengakui bahwa jangkauan akal tidak jauh mencapai kepada sesuatu yang tidak berpangkal dan tidak berujung (Transenden), seperti Dzat Allah Swt.
Arus pemikiran manusia tidak dapat dibendung oleh hal apapun, kecuali manusia itu sendiri yang menyadari bahwa dia dibatasi oleh serba kekurangan dan bahwa dia dilarang menerobos bendungan yang telah ditetapkan dalam wahyu Tuhan, misalkan manusia dilarang memikirkan Dzat Allah Swt. Apalah daya, terkadang manusia selalu mengedepankan syahwatnya sehingga banyak dalam ayat Al Qur’an yang menerangkan jiwa ifrath dan jahil manusia dalam mengurai suatu ilmu4.
Disebabkan Allah Swt. memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir, maka tidak heran jika di dalam tubuh umat Islam terdapat banyak golongan-golongan yang mayoritas muncul dari aliran pemikiran, baik aliran pemikiran klasik ataupun modern. Adapun keberagaman (pluralitas) pemikiran ini tidak hanya terdapat dalam agama Islam, akan tetapi juga muncul dalam tubuh agama lainnya, bahkan kaum non-agamapun (Atheis) demikian. Arus pemikiran yang akan penulis sorot dalam makalah ini hanya bersifat global, dengan memilih dua arus pemikiran yang banyak diperbincangkan dan diperbandingkan, yaitu arus pemikiran Islam dan arus pemikiran barat.
Pilihan ini bukan berarti hendak membandingkan Agama Islam dengan budaya Barat, akan tetapi memperbandingkan arus pemikiran manusia muslim dengan pemikiran manusia barat. Karena suatu perbandingan dapat dianggap relevan jika dua hal yang dibandingkan itu memiliki banyak kesamaan. Artinya, memperbandingkan umat Islam dengan orang barat hanya pada batas pemikiran. Meskipun kita akui, aliran pemikiran Barat saat ini tidak sedikit mempengaruhi cara berpikir umat Islam dengan munculnya aliran-aliran pemikiran barat yang dipaksa untuk diislamisasikan.
Definisi
Pemikiran secara etimologi diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memikir5. Adapun secara terminology, didefinisikan sebagai: sebuah kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk sampai kepada hasil yang dicari6. Dari definisi tersebut terlihat adanya perluasan makna, yang tadinya bersifat abstrak dalam etimologi, menjadi bersifat konkrit dalam terminology, yaitu dengan menambahkan penekanan pada pencarian hasil dari sebuah pemikiran. Namun objek yang dipikirkan bersifat global tergantung keinginan si pemikir, akan tetapi hasil pemikirannya menjadi suatu hal yang konkrit dan membumi jika memiliki sandaran yang –meminjam istilah Al qur’an7- “akarnya menghunjam ke tanah, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit" sehingga "buah" pemikiran mereka dapat dicicipi sampai saat ini.

Keberagaman Pemikiran Islam
Pluralitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, dan bahkan merupakan sunatullah bagi ciptaan-Nya8. Tentu saja tidak aneh jika dalam Islam muncul beragam pemikiran, baik yang saling bertentangan ataupun yang saling mengisi satu sama lainnya. Makanya seorang ahli ilmu sosial “Goustaf Laubon” menyatakan bahwa orang-orang Islam adalah orang-orang yang pertama kali mengajarkan alam bagaimana kebebasan berpendapat sejalan dengan agama9. Arus pemikiran ini dapat bertahan lama, ketika pemikirannya menjelma menjadi sebuah amalan yang terorganisir serta diikat dalam satu organisasi/golongan.
Sebab itu, muncullah golongan-golongan dalam Islam yang pada asalnya dari sebuah pemikiran. Dr. Abdul Halim Mahmud berkata: “Patokan akal muslim adalah Al Qur’an, inilah yang membebaskan akal manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Karenanya, disamping hasil dari olahan akal manusia, pemikiran dalam Islam memiliki kekuatan sandaran yang sudah terjamin keabsolutannya”10, yaitu Al Qur’an. Tentu saja, dengan sandaran ini pemikiran di dalam Islam berdiri tegak layaknya pohon yang berakar tunggal. Sebab, kuat atau lemahnya suatu pemikiran tergantung pada kekuatan sandarannya. Ini juga merupakan salah satu bukti bahwa Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan akal manusia. Namun akan muncul satu pertanyaan, kenapa hanya dengan satu sandaran muncul berbagai pemikiran?, tentunya karena ada keniscayaan pluralitas manusia.
Pemikiran di dalam Islam memiliki definisi tersendiri, karena jika kata “pemikiran” sudah dipadankan dengan kata “Islam”, maka akan terjadi perubahan makna dalam terminologi. Karenanya Muhammad Husain Abdullah mendefinisikan pemikiran dalam Islam sebagai :
“Menjawab realitas dari prespektif Islam” 11الحكم على الواقع من وجهة نظر الإسلام
Realitas pada masa pemikiran Islam klasik berbeda dengan masa kini, pemikiran Islam klasik muncul dari permasalahan internal karenanya lebih menekankan pada pembangunan internal. Adapun pemikiran Islam kali ini (modern) didorong oleh cita-cita untuk menjawab realitas eksternal untuk kemaslahatan muslim dan manusia seluruhnya (rahmatan lil â’lamîn). Karenanya, disamping Islam sebagai subjek (baca: sandaran) pemikiran, juga sekaligus sebagai objek pemikiran itu sendiri.

A. Epistemologi Pemikiran Islam
Disebabkan Al Qur’an merupakan sandaran pemikiran Islam, maka di waktu itu pula pemikiran Islam muncul. Tetapi, pada mulanya pemikiran Islam bersifat absolut (baca: Syari’ah) karena pemikiran ini muncul dari seorang Nabi yang sudah dijamin jauh dari hawa nafsu. Kemudian berangsur setelah wafatnya Nabi Saw., umat Islam bagai kehilangan kemudinya, maka muncullah riak-riak pemikiran (baca: ijtihad) umat Islam yang tidak lepas dari subjektifitas dalam menjawab realitas yang menuntutnya muncul kepermukaan.
Masapun berganti, pemikiran Islam semakin berkembang yang sedikit banyaknya mempengaruhi kondisi umat Islam. Inilah yang diprediksikan Nabi Saw. akan munculnya 73 golongan dalam tubuh umat Islam, dan hanya satu yang akan masuk surga, yaitu golongan yang mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi. Meskipun demikian, tiap-tiap golongan memegang claim truth (klaim kebenaran) bahwa merekapun mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi.
Berlepas dari itu, arus pemikiran Islam masih terus berkembang sampai saat ini, namun tugas kita adalah memilah dan memilih golongan yang mengikuti sunnah Nabi Saw. dan sunnah para sahabat Nabi (mâ ana ‘alaihi wa ash hâbî).

B. Faktor Munculnya Pemikiran Islam
Karena pemikiran Islam merupakan hasil dari jawaban realitas, maka faktor munculnyapun karena realitas yang ada. Faktor ini muncul tidak akan lepas dari desakan internal dan tarikan eksternal. Karena itu penulis membaginya pada faktor internal dan eksternal :
1. Faktor internal umat Islam
Artinya, arus pemikiran muncul dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri, baik itu muncul dari akal sehatnya ataupun terdorong hawa nafsunya. Faktor ini ada karena sebab-sebab sebagai berikut :
a. Fanatisme Arab
Fanatisme dalam bangsa Arab sudah mengurat saraf dan mendarah daging, karenanya sering terjadi pertikaian antar kabilah sebelum datangnya Islam. Peperangan ‘Aus dan Khazraj merupakan salah satu bukti ke-ta’ashub-an bangsa Arab. Tapi setelah datangnya Nabi Saw. dengan mengemban amanat Tuhan, fanatisme tersebut secara perlahan dikikis sampai habis, meskipun terkadang muncul kepermukaan, tapi Nabi langsung meredamnya kembali. Sebagaimana dari Jabir Ibn Abdullah berkata : telah berkelahi dua orang anak, yang satu dari Muhajirin dan satu lagi dari Anshar. Lalu orang Muhajir berteriak : “Tolong aku wahai orang-orang Muhajir”, dan orang Anshar berteriak : “Tolong aku wahai orang-orang Anshar”. Maka Nabi Saw. keluar dan berkata “Ada apa ini? apakah masih ada seruan-seruan jahiliyah?”, mereka berkata : tidak wahai Rasulullah, ada dua orang anak yang sedang berkelahi dan saling memukul. Maka Rasulullah berkata “Tidak ada manfaatnya, tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim atau saudaramu yang didzalimi. Jika (saudaramu) berbuat dzalim, maka dengan melarangnya adalah (bukti) menolongnya. Dan jika (saudaramu) yang didzalimi maka tolonglah dia”12.
Namun, pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. sikap ini kembali muncul dalam kalangan sahabat, seperti; terjadinya perbedaan pendapat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar mengenai siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Nabi Saw. Perbedaan ini tidak berlangsung lama, karena umat Islam pada waktu itu masih memegang budaya syura. Selanjutnya, fanatisme kembali muncul semakin akut sepeninggal khalifah Utsman Ibn Affan, dimana umat Islam terpecah dalam dua kubu, kubu ‘Umawiyyin dan Hâsyimiyyin.
b. Perebutan kekuasaan
Hawa nafsu memang tidak akan kenyang meskipun terus dipenuhi keinginannya, dikala fanatisme kembali muncul, kemudian pengkultusan individu semakin kuat, maka sikap anti kemapananlah yang muncul. Ini terjadi dari sikap fanatisme umat Islam dan pengkultusan terhadap Ali dan Mu’awiyah, sehingga terjadilah fitnah peperangan antara kedua kubu yang dikenal dengan nama perang Shifin (37H/657M), padahal ini semua muncul karena kesalahpahaman Mu’awiyyah terhadap sikap Ali yang dianggap lamban dalam menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Kemudian, pasca perang muncullah berbagai organisasi politik yang nantinya malah melebar pada pembahasan teologi. Seperti Khawarij13, Syi’ah14 dan pendukung Mu’awiyah. Namun pada masa sekarang, pergerakan umat Islam (harakah islâmiah) bermunculan didorong karena kondisi pemerintahan yang ada saat ini tidak sesuai dengan Syari’at Islam, ini bermula ketika Kemal At Taturk mengganti kekhilafahan dengan Qanun Thagut. Kemudian muncullah Ikhwanul Muslimun, Jama’ah Islamiah, Hizbut Tahrir, dll.
c. Istinbath hukum-hukum syar’i
Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, karenanya Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh15 membaginya dalam enam periode dengan mengawali perkembangannya pada masa Nabi Saw. Namun, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas, maka ikhtilâfat tidak banyak muncul. Kemudian sepeninggal Nabi, ikhtilaf mulai bermunculan dalam pemahaman para sahabat. Dilanjutkan pada periode Tabi’in dengan munculnya dua madrasah; madrasah Ahlu Hadits dan madrasah Ahlu Ra’yi, lalu periode para Mujtahidin (Abad II H sampai pertengahan IV H) dengan munculnya imam-imam fiqih seperti Imam Abu Hanifah (lahir di Kufah 61 H)16, Imam Malik (lahir di Madinah 93 H)17, Imam Asy Syafi’i (lahir di Syam 150 H)18, Imam Ibn Hanbal (lahir di Bagdad, 164 H)19. Kemudian pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H, merupakan periode stagnan (Rukûd) dan Taqlîd. Pada periode ini umat Islam terbagi-bagi dalam berbagai madzhab, fanatisme madzhabpun muncul, maka yang ada hanya kodifikasi ilmu para imam madzhab. Selanjutnya pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode implementasi fiqih dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif. Meskipun kita tidak dapat menutup mata akan adanya perkembangan madzhab dalam tubuh umat Islam pada masa sekarang.


2. Faktor eksternal Umat Islam
Artinya, arus pemikiran muncul karena pengaruh eksternal, dan umat Islam mesti menjawab realitas tersebut dalam prespektif Islam. Pengaruh eksternal ini sudah muncul pada masa arus pemikiran Islam klasik, dengan munculnya berbagai macam pemikiran teologi. Ini dimulai ketika pada masa kekhilafahan Abbasiyyah dengan merebaknya ilmu mantik dan filsafat.
Ilmu logika, mantik dan filsafat dikenal masuk kedalam tubuh kaum muslimin di zaman dinasti Abasiyyah. Yaitu di saat Yahya bin Khalid bin Barmak, salah seorang mentri Harun Ar-Rasyid, meminta buku-buku Yunani dari raja Romawi. Waktu itu buku-buku tersebut disimpan dan tidak ditampakkan kepada orang-orang Nashara secara umum. Karena dikhwatirkan akan membawa kepada kesesatan. Tetapi dengan permintaan kaum muslimin tersebut, dengan segera Raja romawi mengirimkan buku-buku Yunani itu kepada sang menteri. Dengan keinginan mereka dapat terlepas dari bahaya buku-buku tersebut, dan dengan harapan agar kandungan buku-buku itu merusak keadaan kaum muslimin! Sehingga salah seorang mereka mengatakan: “Tidaklah ilmu-ilmu ini masuk kesuatu Negara kecuali akan merusakkannya dan memecah-belah ulamanya!!”.
Tersebarlah ilmu filsafat. Kemudian pada zaman Tartar mengusai daerah Islam, Nashirudin Ath-Thusi mendirikan perguruan Dâr Hikmah. Dimana para pelajar (santri) yang mempelajari filsafat mendapatkan gaji 3 dirham setiap hari. Dan mendirikan Dâr Thib Kedokteran, para pelajar digaji 2 dirham per-hari. Serta mendirikan Dar Hadits hadits, para pelajarnya digaji ½ dirham per-hari20.
Faktor eskternal ini muncul karena Tatar membuang buku-buku diperpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak. Lalu muncullah ilmu-ilmu luar ke dalam lingkungan umat Islam, diantaranya ilmu-ilmu teologi. Sehingga tidak sedikit umat islam yang memahami teologi Islam dengan referensi filsafat yunani. Maka pada masa ini bermunculanlah pemahaman teologi dalam tubuh umat Islam, seperti Qadariah21, Jabariah22, Murji’ah23, Mu’tazilah24, Asy’ariah25, Maturidiah26 dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah27. Adapun perkembangannya pada masa kini, bermunculan aliran pemikiran barat yang diadopsi muslim sempalan seperti; Liberal28, Nasionalisme29, Sekulerisme30, dll.


Dari semua faktor yang ada, maka umat Islam menjadi terbagi ke dalam berbagai macam golongan yang saling bertentangan satu sama lainnya. Golongan-golongan yang banyak ini penulis kelompokkan kepada tiga madzhab (ideologi); madzhab teologi, madzhab politik dan madzhab fiqih.

Arus Pemikiran Barat
Pemikiran dalam pemahaman Barat hanya bertumpu pada akal an sich (faqath), meskipun dalam usaha menjawab realitas pada waktu itu, sama perannya dengan pemikiran Islam. Tentu saja demikian, karena Barat bukanlah agama yang memiliki kitab –sebagai sandaran- yang dilegitimasi langsung oleh Tuhan, atau bahkan mereka tidak mengakui kemanfaatan agama bagi manusia. Tapi, meskipun mereka bertumpu pada akal semata, kita tidak dapat mengelakkan loncatan-loncatan teknologi, tata negara, sosial dan keduniawian lainnya yang mereka hasilkan dari sebuah pemikiran.
Disamping itu telah penulis katakan di awal, dengan kehebatan berpikir dapat mengangkat kedudukan manusia dibandingkan makhluk Allah Swt. lainnya. Sekarang, mereka unggul dalam masalah keduniawian, tapi mereka tidak unggul dalam masalah keukhrawian. Karenanya pemikiran oleh mereka didefinisikan sebagai sebuah kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk sampai kepada hasil yang dicari. Sedangkan landasan prinsip-prinsip mereka hanya bertumpu pada akal yang tidak akan lepas dari subjektivitas.
A. Epistemologi Pemikiran Barat
Suatu hal yang sulit menetapkan awal munculnya pemikiran di Barat, namun yang pasti aliran pemikiran jauh-jauh hari sudah ada pada masa Yunani kuno. Dimana filsafat mulai merebak dengan munculnya seorang bapak filosof yang bernama Arseto Thales (384-322SM) yang menjadikan kejadian alam sebagai objek pemikiran, karenanya filsafat pada masa ini dinamakan filsafat Naturalisme. Semenjak itu berkembanglah pemikiran Barat sampai saat ini, dari masa paganisme sampai kepada neo-paganisme31.
B. Faktor Munculnya Pemikiran Barat
Karena akal sebagai subjek utama dalam pemikiran Barat, maka faktor lahirnyapun muncul karena akal melihat objek (realitas) yang terjadi. Penulis hanya mencatat sedikit faktor sebagai berikut:
1. Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa Yunani yaitu Philosophia; Philo berarti cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, ketertarikan pada. Dan Sophos berarti berarti orang bijak; atau Sophia berarti kebijakan, pengetahuan, keahlian atau pengalaman praktis32. Adapun secara terminology filsafat memiliki banyak definisi, karena objek penelitiannyapun bersifat global. Imanuel Kant berpendapat bahwa filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan, sedangkan Cicero mendefinisikannya sebagai pengetahuan tentang ilmu-ilmu tinggi saja dan jalan untyuk mencapai ilmu-ilmu itu. Filsafat ialah induk segala ilmu dunia, ilmu kepunyaan dewata33. Lebih jelas lagi Syaikh Al Mauzun dari Samarkand berpendapat bahwa filsafat adalah upaya rasio untuk mengetahui hakikat semua prinsip yang paling mendasar34.
Sebagaimana dikatakan di awal, filsafat merupakan bukti munculnya pemikiran di Barat dengan bapak filosofnya adalah Thales yang mengusung filsafat naturalisme yang tidak sampai pada memikirkan objek yang transenden, artinya alam sebagai objek pemikiran yang lahir secara natural (thabi’i). Pemikiran ini didorong karena kondisi pada waktu itu masih berpemahaman paganisme. Kemudian filsafat mulai berkembang sampai membahas pada hal-hal yang transenden dengan munculnya Socrates yang menghasilkan pemikiran yang melewati naturalisme. Yang kemudian menghasilkan pemahaman Creatio ex Nihilo, yaitu Alam tidak mungkin merupakan sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan Mutlak.
Dari filsafat inilah banyak menghasilkan aliran-aliran pemikiran di Barat yang bersifat teologis, baik aliran yang tidak meyakini akan adanya Mutlak (baca: Tuhan)/atheis, ataupun aliran yang berhasil menemukan Tuhan.
2. Otoritarianisme Gereja
Pada sekitar abad pertengahan yang dimulai semenjak abad V Masehi sampai X abad berikutnya bangsa Barat mengalami stagnasi dan taklid buta yang sangat akut, karena pada masa ini gereja memperlihatkan taringnya dengan mengendalikan seluruh kehidupan bernegara dan beragama berada dibawahnya. Padahal, kebijakan-kebijakan gereja pada waktu itu tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Karenanya banyak para filosof dan ilmuan yang berakhir dengan kematian yang mengenaskan karena observasinya bertentangan dengan kebijakan gereja yang mereka anggap sebagai “Hukum Tuhan”. Sehingga Galileo Galilee mendapat penyiksaan dan pemerkosaan intelektual dari gereja, karena dia beranggapan bahwa bumi berputar pada porosnya dan observasi ini bertentangan dengan kebijakan gereja yang bersifat absurd (Gair Ma’qul).
Namun dibelahan dunia lain, Islam dengan konsep tauhidnya yang kokoh telah memancarkan nuansa ilmiah yang agamis kebelahan dunia lainnya. Karenanya, tidak sedikit cahaya Islam berpengaruh pada kebangkitannya Barat melawan kebijakan-kebijakan gereja, yang mereka sebut dengan Renaissance.
Renaissance/Tanwîr diartikan sebagai : Kegiatan akal dalam membebaskan pemerintahan dan akal dari agama dan gereja beserta para pendeta pada masa itu35. Dengan ini bermunculanlah slogan-slogan sekulerisme dari mulut para pembaharu Barat seperti; “Tuhannya renaissance membebaskan dari posisi Tuhan dan agama”, “Hidup akal, sains dan filsafat!” atau “Tidak ada kekuasaan terhadap akal kecuali oleh akal” juga “Agama untuk tuhan dan Negara untuk rakyat”. Pembaharuan ini tidak sempurna sesempurna pemikiran Islam, karena ketika kebebasan berpikir menyimpang dari hak manusia, maka kebebasan itu bergeser menjadi kebebasan kekufuran-penganiayaan dan penghinaan36, apalagi kebebasan berpikir mereka menyimpang dari hak-hak Tuhan. Dari kebebasan yang tiada batas inilah akhirnya banyak bermunculan ideology seperti; Sosialisme37, Komunisme38, Fasisme39, dan selanjutnya muncul Demokrasi modern40, Nazisme41, Zionisme42 dan Orientalisme43.
Dari kedua faktor ini, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran Barat hanya bersandarkan kepada akal yang lambat-laun ditunggangi oleh hawa nafsu mereka. Sehingga menyebar aliran pemikiran yang bersifat progress keduniawian an sich. Dengan melihat berbagai aliran pemikiran yang ada di Barat, penulis dapat mengelompokkan mereka ke dalam dua karakter; madzhab Teologi dan madzhab Ideology.

Pemikiran Islam, Menuju Dekonstruksi Aksiologi
Pluralitas pemikiran merupakan sunatullah, karenanya meskipun kita berusaha untuk melawannya kita akan tetap terkalahkan, sebab kita sudah melawan kekuasaan Tuhan. Karena itu, tugas kita sekarang adalah bagaimana menyikapi pluralitas dalam pemikiran umat Islam saat ini, agar jangan sampai menjadi orang yang gampang menyalahkan pemikiran orang atau golongan lain, sebab dengan pemikiran pula argumen itu dapat ditolak. Karenanya Dr. yusuf Qardhawi mewanti-wanti agar kita tidak masuk kedalam jurang ektrimisme (rigid), beliau menyebutkan tanda-tanda ekstrimisme ada lima tanda; fanatik terhadap salah satu pemikiran, radikal yang bukan pada tempatnya, keras dan kasar, berprasangka buruk terhadap manusia, dan jatuh ke lembah mengkafirkan orang lain.
Dalam membangun pemikiran Islam yang benar mesti memiliki karakteristik yang benar pula, yang pastinya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Tentu saja, batasan-batasan yang ada pada kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam syari’at Islam adalah batasan-batasan yang muncul dari pokok yang umum dimana syari’at berada diatasnya, yaitu memperoleh kemaslahatan dan meninggalkan kerusakan44. Karakteristik yang penulis maksudkan itu antara lain mesti :
1. Komprehensif, artinya pemikiran Islam bersandarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan universal (Rahmatan wa Busyrâ lil Muslimîn) (QS. An Nahl: 89), juga integral keberbagai aspek kehidupan (QS. Al Maidah: 3).
2. Praktis, artinya pemikiran Islam mesti bersifat ‘amali bukan khayalan yang diada-adakan
3. Humanis, karena objek pemikiran Islam adalah realitas yang merupakan hasil sentuhan manusia itu sendiri. Sebab itu pemikiran mesti bisa memanusiakan manusia, dengan tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Setelah memiliki karakteristik pemikiran di atas kita mesti menjadi solver terhadap permasalahan umat yang dihadapi, diantaranya dengan :
1. Membaca wahyu dan Sunnah Nabi, agar kegiatan akal senantiasa dibatasi dari hawa nafsu.
2. Membaca alam, agar semakin tunduk pada keagungan Allah Swt, dan inilah yang disebut dengan ulil Albab45.
3. Memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi umat kali ini, apalagi solusi yang ada sudah bertentangan dengan syari’at Islam. Misalkan mengarahkan umat yang berkecimpung dalam komunisme, sosialisme, nasionalisme, dll, kepada pemikiran Islam yang memiliki progress keduniawian dan kekuhrawian.
4. Mengejar kesenjangan antara ulama dengan umat, karena perkembangan jaman bersifat maju, maka kita mesti mengikuti dan mengetahui loncatan-loncatan jaman.

Epilog
Persatuan ultimate goal (tujuan akhir) umat kali ini merupakan kebutuhan yang sangat dlaruri, artinya umat Islam mesti sama-sama berpegang teguh pada tali Allah yang benar, agar perbedaan yang ada tidak menjadi permusuhan tapi malah menjadi sebuah nikmat. Sebagaimana firman Allah Swt.:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103)
Maka dari itu, persatuan adalah nikmat yang patut kita syukuri. Kalaupun terjadi ikhtilaf di tubuh umat Islam, hal ini tetap menjadi sebuah kenikmatan karena ikhtilaf ini masih dalam lingkup persatuan dan persaudaraan, atau dalam istilah Anis Matta mengedepankan tradisi ilmiah dalam menghadapi keberagaman.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

Foot Note:
1. QS. Al Baqarah: 34
2. QS. Al Mujâdilah: 11
3. QS. Asy Syams: 8
4. QS. Al A’râf: 176, Al Kahfi: 28, Thâhâ: 16
5. Pusat Bahasa Depenas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2002, Balai Pustaka, Edisi III, h. 873
6. Arif Rahman Hakim Lc. Dipl., Selayang Pandang Pemikiran Islam; Upaya Merunut Sejarah Pemikiran Islam dari Kelahirannya Sampai Masa Kebangkitan Islam, Makalah kajian dwi mingguan LBI Pwk. Persis, 22 Maret 2005, h. 1
7. QS. Ibrahim: 24
8. QS. Yunus: 99
9. Dr. Ashim Ahmad Ajillah, Menghidupkan Kembali Kebebasan Berfikir, Jaksel, 1990
10. QS. Al Hijr: 9
11. Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, 2002, Pustaka Thariqul Izzah, h.9
12. Muslim, Al Bir Wa As Shilah 4.681
13. Golongan yang keluar dari Imam Ali dan menentang pendapatnya, serta mereka yang tidak menganggap kekhilafahan Ali Ibn Abi Thalib,
14. Golongan yang mendukung dan mencintai Ali Ibn Abi Thalib beserta keluarganya dan menetapkan keimamahannya. Selanjutnya golongan ini berpecah-pecah ada yang sampai menganggap Ali sebagai Tuhan dan Nabi.
15. Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah Al Banhâwi, Târîkh At Tasyrî’ Al Islâmî, 2002. Beliau mantan Dekan fakultas Syari’ah wal Qanun universitas Al Azhar cabang Tafahna el Asyrâf.
16. Imam Madzhab Hanafi yang terkenal sebagai ahli ra’yu dan banyak berijtihad, karenanya disamping beliau mengambil istinbath hukum-hukum syar’i dengan Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, perkataan sahabat dan Qiyas, juga beliau mengambil istihsan sebagai landasan akhir dalam beristinbath.
17. Imam Madzhab Maliki yang terkenal sebagai ahli hadits, sehingga lebih memperhatikan keshahihan hadits dengan mengkodifikasikannya dalam satu buku yang bernama Al Muwaththa’. Beliaulah yang mencetus istinbath hukum bisa dengan melihat perilaku penduduk Madinah, juga memakai mashâlih al mursalah.
18. Imam Madzhab Syafi’i yang merupakan pencetus lahirnya kodifikasi Ushul Fiqih dengan bukunya Ar risalah. Beliaulah yang mempertemukan ahlu ra’yi dengan ahlu hadits.
19. Imam Madzhab Hanbali yang menggunakan Qiyas sebagai istinbath hukum, sebagai usaha darurat jika tidak ada hadits ataupun perkataan sahabat, mursal ataupun yang membahas suatu hukum. Asas beliau dalam berijtihad hamper mirip dengan Imam Asy Syafi’i
20. Majalah As Sunnah, edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M, h. 3
21. Golongan yang berkeyakinan bahwa manusialah yang menciptakan amal mereka sendiri, tanpa sedikitpun campur tangan Tuhan.
22. Golongan ini kebalikan dari qadariah, karena mereka berkeyakinan bahwa amalan mereka semua ciptaan Allah, dan manusia tidak bisa memilih amalannya sendiri.
23. Golongan yang tidak ingin menghukumi segala amalan manusia, bahkan dalam masalah jinayat, karena mereka lebih memilih menunda hukuman di akhirat nanti.
24. Golongan yang bermula dari berpisahnya Washil Ibn Atha dari jilsah Hasan Al Bashri, karena dia tidak setuju dengan pandangan gurunya mengenai posisi muslim yang berbuat dosa besar. Menurut Washil muslim tersebut tidak akan masuk neraka ataupun surga, tetapi dia akan berada di Manzilah bainal manzilatain.
25. Para pengikut Abu Hasan Al Asy’ari yang pada meluanya beliau pengikut Mu’tazilah, karena ketika menemukan kekeliruan dalam pemahaman Mu’tazilah, maka beliau keluar dari golongannya. Beliau lebih mengedepankan akal yang didasari oleh nash.
26. Dinisbatkan kepada pendirinya yang bernama Abu Manshur Al Maturidi, yang pada dasarnya hampir sama dengan Asy’ariah tetapi pandangan mereka terhadap akal lebih diutamakan daripada nash.
27. Golongan yang berusaha menghidupkan aqidah salafus shalih yang berdasarkan pemahaman para sahabat dan tabi’in yang tidak berargumen kecuali dengan nash.
28. Aliran ini muncul di Eropa pada abad 20 M, dalam mendamaikan aliran pemikiran yang ada pada waktu itu. Aliran ini baru-baru muncul di tubuh umat Islam sempalan yang bertujuan ingin mendamaikan agama-agama, dengan mengatakan bahwa semua agama itu benar dan sama-sama akan menuju keharibaan tuhan yang satu.

29. Lahirnya aliran ini dalam umat Islam ketika mulai bersatunya bangsa Yahudi, yang berkeinginan merobek-robek baitul maqdis. Juga ketika kekhilafahan Islam pada waktu itu sedang lemah dan stagnan di Istambul (Turki), sehingga = perhatian pemerintah pusat berkurang pada permasalahan palestina, maka muncullah Nasionalisme Arab dan Nasionalisme turki. (Abdullah Nasih ‘Ulwan, Al Qaumiyyah fî Mîzânil Islâm, Cairo, dar As Salâm, h. 9)
30. Sekulerisme diadopsi umat Islam sempalan dengan berkeinginan memisahkan Islam dari kehidupan, khususnya dalam pemerintahan.
31. artinya pemikiran bangsa Barat dari awalnya sampai sekarang masih bersifat materialistik, sedangkan istilah neo-paganisme diambil dari pemikiran materialistic mereka yang memisaha agama dari pemerintahan/sekulerisme
32. Aas Subarkah , Perspektif tentang Filsafat dan Agama, makalah, 12 Maret 2005, h. 3
33. Drs. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta, 1990, Bulan Bintang, h. 18
34. Syaikh Nadhim Al Jisr, Para Pencari Tuhan, h. 23
35. Dr. Muhammad Imarah, Fikrut Tanwîr bainal ‘Almâniyyîn wal Islâmiyîn, Cairo, 1994, h. 16
36. Dr. Ashim Ahmad Ajillah, Op Cit., h. 18
37. Sosialisme diartikan sebagai persatuan. Kata ini muncul pada tahun 1827 di Inggris dalam majalah Co-Operative Magazine. Dalam pemahaman umum sosialisme didefinisikan sebagai Gabungan teori politik, ekonomi dan social yang menggambarkan persatuan. Teori yang mereka tekankan adalah kepemilikan bersama, equality dan kebebasan melawan materialisme (Dr. Abdullah Muhammad Abdurrahman, ‘Ilmul Ijtimâ’is Siyâsî, An Nasy’atu Tathawwuriyyah wal Ittijâhât Al Hadîtsah wal Mu’âshirah, Beirut, Dar An Nahdlah Al A’rabiah, 2001).
38. Kata Komunisme muncul pada masa Yunani kuno ketika Plato mengisyaratkan wanita dan anak-anak agar dikomuniskan (dikumpulkan) disuatu kota. Namun kata komunis yang dijadikan ideology saat ini muncul pada akhir abad 19 M, dengan founding fathernya adalah Karl Marx. Aliran ini berkeinginan menghapus kerajaan borjuisme dengan memberikan kekayaan Negara kepada rakyat sesuai kebutuhan mereka. Inilah yang membedakannya dengan sosialisme yang berkeinginan mengembalikan kekayaan Negara kepada rakyat tanpa batas. (Ibid)
39. Fasis diambil dari bahasa Itali Fasces yang berarti seikat tongkat dan palu. Ideology ini bermula pada tahun 1919 dengan mendirikan perkumpulan rakyat Itali untuk menghadapi konpirasi komunisme Rusia. Ideology ini beranggapan mesti membangun Negara yang dipimpin oleh seorang diktator yang bisa menguasai pemerintahan, karenanya kebebasan bukanlah hak pribadi, melainkan hak Negara. Ideology ini dipimpin oleh Beneto Musolini. (Ibid)
40. Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, Demos berarti rakyat dan Krates berarti pemerintahan, jari pemerintahan rakyat. Kata ini telah ada pada pemerintahan Yunani Kuno dalam pemikiran Aristoteles, tetapi mulai menjadi sebuah ideology ketika bermunculan partai demokrasi liberal di Amerika th. 1776. Asas ideology ini berslogan “Kedaulatan di tangan rakyat”.(Ibid)
41. Ideology ini dimotori oleh Hitler dari mulai tahun 1933 sampai 1945. Ideology ini dipengaruhi oleh pemikiran sosialisme, tapi dijalankan dengan radikal dan lebih mengedepankan sikap rasistis. Esensi ideology ini adalah: menguasai pemerintahan, memusnahkan gerakan Marxisme-komunisme, mencelup Jerman dengan sosislisme kerakyatan, menekankan persatuan rakyat Jerman, mensucikan bangsa Jerman dari darah Yahudi. (Ibid)
42. Ideology ini hadir pada abad 16 dengan tujuan untuk memperbaharui bangsa Yahudi dengan memasukkannya pada aliran politik. Ideology ini menginginkan pembentukan Negara Yahudi yang dinamakan Israel di tanah Palestina.
43. Ideology ini muncul karena gagalnya imperialisme Barat untuk menduduki Negara Islam, akhirnya pada abad XIII M Raja Qastalah (Alfonso) menyuruh Michel Scoot meneliti ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dan menerjemahkan buku-buku Islam ke bahasa Eropa. Maka penyerangan tidak lagi dilakukan dengan peperangan, tetapi menebar pembusukan dari dalam umat Islam dengan mengguncang aqidahnya.
44. Ashim Ahmad Ajillah, Op. Cit. h. 48
45. QS. Ali Imrân: 190

posted by Irfan Kasyaf N at 7:30 AM | 0 Comments
Ahlul Kitab Dalam Sorotan

Upaya meluruskan pemahaman dan pelaksanaan
Prolog
Pikiran yang menganggap semua agama itu sama sudah lama hadir di negri Indonesia. Segala macam cara mereka masuki agar dapat meyakinkan manusia bahwa agama yang dianutnya bukanlah satu-satunya agama yang benar. Sebab semua agama sama-sama mengajarkan kebenaran moral dan spiritual. Lebih jauh lagi meraka berkeyakinan bahwa tidak ada satupun agama yang sempurna (kâfah), karena itu semua agama bisa saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya. Ajaran Nabi Ibrahim yang hanif mereka anggap telah mencakup tiga agama samawi yang sekarang masih ada, yaitu Yahudi, Nashrani dan Islam, padahal orang-orang Yahudi telah dikatakan kafir ketika mereka mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah Swt, sedangkan orang-orang Nashrani dikatakan kafir ketika mengatakan bahwa Isa as. adalah anak Allah Swt, sedangkan Nabi Ibrahim tidak mengajarkan sebuah kemusyrikan. Pemikiran mereka ini berawal dari ketidakpahaman akan hakikat ke-kâfah-an Islam. Karena itu, Islamlah sebagai agama penerus ajaran Nabi Ibrahim yang hanif1.
Berlepas dari apa tujuan mereka melahirkan pemikiran bahwa semua agama itu sama, atau apa yang mereka sebut dengan "Pluralisme Agama", saya hanya akan membahas satu diantara banyak cara para "Pion" pluralis agama dalam meluluskan obsesi mereka, yaitu tentang konsep Ahlul Kitab. Makna Ahlul Kitab yang sering mereka fahamkan kepada muslim khususnya, diartikan hanya sebatas literal, yaitu “Konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci”2, lebih jauh lagi mereka mendefinisikannya sebagai: “mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan tentunya juga percaya kepada salah seorang nabi dan mengakui adanya kitab suci yang menjadi pegangan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengaku pimpinan agamanya sebagai nabi dan mempunyai kitab suci, pengikutnya dapat disebut sebagai Ahli Kitab”. Sehingga dalam keyakinan mereka agama buatan manusiapun mereka anggap sebagai ahlul kitab, karena merekapun memiliki kitab suci, semisal; Budha, Hindu, Kong hu chu, dll .

Definisi
Imam Syafi’i (wafat 204H) dalam kitabnya “Al Umm” menyebutkan definisi Ahlul kitab dengan menyitir ucapan Atha (seorang Tabi’in) yang berkata “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab, ahli kitab adalah keturunan Israel. Yakni orang-orang yang datang kepada mereka kitab Tauret dan Injil. Adapun orang lain yang memeluk agama mereka bukan ahlul kitab”3.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa Ahlul kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, adapun Yahudi dan Nashrani yang bukan keturunan bangsa Israel bukanlah termasuk Ahlul kitab. Definisi ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Ash Shaf: 6 yang berbunyi “Dan ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ….". Ucapan Nabi Isa As. ini menegaskan bahwa terbatasnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa, yaitu hanya untuk Bangsa Israel dan hanya hingga kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Di dalam Injilpun terdapat ayat yang menunjukan keterbatasan ajaran Nabi Isa hanya bagi bangsa Israel “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24), karena ajaran Nabi-Nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. yang berjumlah 124.000 Nabi, dibatasi oleh tempat (bangsa) dan waktu. Sedangkan Nabi Isa dibatasi hanya untuk satu bangsa (Israel) dan hanya untuk waktu sampai sebelum diutus Muhammad Saw. Adapun Rasulullah adalah penutup para Nabi yang diutus kepada semua bangsa dan untuk masa yang tidak ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyâ: 107).
Maka dapat didefinisikan bahwa Ahlul Kitab adalah "Orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, yang masih ada setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw.".

Memilah-milah Ahlul kitab
Di dalam Al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai sifat-sifat para Ahlul kitab, baik ditinjau dari kepribadian mereka dalam memperlakukan dirinya sendiri, atau kepada orang dan agama lain (Islam). Sifat-sifat ini selayaknya dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan porsinya masing-masing, agar tidak terjadi pengeneralisiran yang akhirnya membenarkan atau menyalahkan secara keseluruhan. Sebagaimana Allah berfirman bahwa Ahlul kitab itu tidaklah sama, diantara meraka ada yang berlaku lurus yang akhirnya mereka masuk Islam, tapi kebanyakan diantara Ahlul kitab itu adalah orang-orang yang fasiq4.
Karenanya, memilah Ahlul kitab adalah suatu kemestian agar kita dapat memposisikan mereka sesuai dengan kepribadian mereka masing-masing. Akhirnya kita bisa memilah mana yang layak untuk diajak bersosial ataukah tidak layak. Penulis membagi Ahlul kitab kepada tiga golongan, pertama, Mereka yang baik dan akhirnya masuk Islam, kedua, Mereka yang fasiq dan mengingkari Islam, ketiga, Mereka yang masih memegang agamanya, akan tetapi dalam perlindungan Islam. Namun yang mesti diperhatikan, bahwa ketika golongan Ahlul kitab ini adalah mereka yang merupakan keturunan bangsa Israel.
1. Ahlul kitab yang baik dan masuk Islam
Golongan ini adalah mereka yang masih memegang teguh ajaran Tauret dan Injil yang belum mengalami deviasi (Tahrif), sehingga ketika dibacakan ayat-ayat Al Qur’an kepada mereka, maka air matanya bercucuran, lalu mereka berharap agar digolongkan ke dalam orang-orang yang menjadi saksi5. Serta apabila mereka mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, maka mereka langsung berpaling dan menjauhi orang-orang yang jahil (bodoh)6.
Pada akhirnya, golongan pertama ini masuk Islam, beriman kepada Allah dan hari akhir, beriman kepada Al Qur’an dan beriman kepada kenabian Rasulullah Saw. Maka Allah memberi mereka balasan di dunia berupa limpahan rahmat dari langit dan bumi7, dan mereka mendapatkan pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka8, serta di akhirat mereka mendapatkan kekekalan di syurga9.
Adapun sikap kita selaku muslim terhadap mereka, mesti disejajarkan dengan sikap kita terhadap saudara semuslim. Kenapa?, karena mereka adalah Ahlul kitab yang telah masuk Islam. Diantara golongan ini pada jaman Nabi Saw. ada yang bernama Abdullah Ibn Aslam (mantan Yahudi) dan Tamim Ad Dari (mantan Nashrani).
2. Ahlul kitab yang fasiq dan mengingkari Islam
Golongan kedua ini muncul disebabkan mereka telah semena-mena mentahrif kitab-kitab sebelum Al Qur’an10, lalu mereka lantas mengingkari kenabian Muhammad Saw., padahal mereka telah mengenal Muhammad layaknya mereka mengenal anak-anaknya sendiri11. Sekaligus, mereka mengingkari ke-Esa-an Allah Swt., dengan mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari oknum yang tiga12, atau mereka mengatakan bahwa Uzair anak Allah dan Isa sebagai anak Allah dan tuhan bagi mereka, serta menjadikan rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan mereka13.
Mereka inilah yang dikatakan imam Syafi’i dalam kitab “Ar Risalah”nya sebagai “orang-orang yang menukar hukum-hukum Allah, kafir kepada-Nya, serta menghiasi lidah mereka dengan kebohongan. Kemudian mereka mencampuradukkan antara kebohongan mereka dengan kebenaran yang telah Allah terangkan kepada mereka”. Golongan kedua ini tidak hanya menanamkan jiwa fasiq pada dirinya sendiri, akan tetapi merekapun gencar menghasut orang-orang yang beriman. Mereka begitu dengki, sehingga mereka tidak mau orang-orang yang beriman mendapatkan kebaikan dari Allah Swt.14 dan berusaha ingin mengkafirkannya15, serta menyesatkannya16, kemudian mereka ingin memadamkan cahaya di hati-hati orang yang beriman17.
Adapun sikap kita terhadap mereka mesti diletakkan sesuai dengan apa yang mereka perbuat kepada kita, agar menahan konspirasi mereka terhadap kita dan agar aqidah umat Islam tetap kokoh tidak layaknya aqidah kaum liberalis. Kita dianjurkan berdebat dengan baik kepada mereka, kecuali jika mereka tetap membantah dan menyatakan permusuhan18, dan tidak boleh sekali-kali mematuhi mereka dengan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan19, serta tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin20. Juga mesti memerangi mereka, karena mereka termasuk kafir harbi, yaitu; kafir yang wajib diperangi, sebab mereka selalu manyalakan api peperangan21. Contoh riilnya, mereka selama setengah abad lamanya sampai saat ini menindas dan menjajah muslimin di Palestina. Serta yang tidak kalah pentingnya, kita mesti bersabar terhadap segala bencana, agar tipu daya mereka tidak mendatangkan madlarat bagi kita22.
3. Ahlul kitab yang berada dibawah perlindungan Islam
Golongan ketiga ini adalah mereka yang dinamakan dengan kafir dzimmi (kafir yang dilindungi). Mereka masih beraktifitas dan beribadah sesuai keyakinan mereka serta tidak bersikap layaknya golongan kedua, tetapi mereka berada dalam perlindungan pemerintahan Islam yang mewajibkan mereka agar membayar Jizyah (pajak jaminan keamanan). Golongan ketiga ini dinamakan juga dalam Al Qur’an sebagai “Ummatun Muqtashidah”, sebagaimana firman-Nya : “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan Taurat dan Injil dan yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan/Ummatun Muqtashidah. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.”(QS. Al Mâidah: 66).
Imam Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jâmi’u li Ahkâmil Qur’ân menyitir satu pendapat mengenai penafsiran kalimat Ummatun Muqtashidah, yaitu “Suatu kaum yang tidak beriman, akan tetapi mereka bukan termasuk golongan yang suka menyakiti dan mengejek (agama lain)”23. Jadi, Ummatun Muqtashidah adalah Ahlul kitab yang tidak suka menyakiti dan mengejek agama lain, akan tetapi mereka berada di bawah perlindungan Islam.
Sikap kita terhadap Ahlul kitab golongan ketiga ini hampir sama seperti sikap kita terhadap Ahlul kitab golongan kedua, yaitu; dianjurkan berdebat dengan baik kepada mereka, tidak boleh mematuhi mereka dengan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan, serta tidak menjadikan mereka pemimpin muslimin, kemudian mesti bersabar. Akan tetapi, kita diharamkan membunuh dan memerangi mereka24, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Barangsiapa membunuh orang yang berada dalam perjanjian (kafir dzimmi), maka dia tidak akan mencium wangi syurga. Padahal wangi syurga tercium sepanjang perjalanan empat puluh tahun” (HR. Bukhari). Juga, kita mesti menjaga harta dan keturunan mereka, dan melarang memaksakan suatu agama kepada mereka25. Agama kitapun membolehkan untuk bersosial dengan mereka selama mereka tidak memerangi26.

Dari pengelompokkan Ahlul kitab ini, dapat disimpulkan bahwa firman Allah Swt. mengenai Ahlul kitab yang membaca ayat-ayat Allah Swt. pada malam hari seraya bersujud27, dan firman Allah Swt. yang menyebutkan bahwa mereka menitikkan air mata ketika dibacakan Al Qur’an28 adalah; firman yang ditujukan khusus bagi Ahlul kitab golongan pertama (Ahlul kitab yang baik dan akhirnya masuk Islam). Artinya, kedua firman ini tidak bisa diterapkan kepada Ahlul kitab golongan kedua dan ketiga.
Sebaliknya, firman Allah Swt. yang menegaskan bahwa Ahlul kitab yang menyembah Nabi Isa As.29, dan Ahlul kitab yang suka merobah ayat-ayat Allah Swt.30 adalah; firman Allah Swt. yang ditujukan khusus kepada Ahlul kitab golongan kedua dan ketiga. Sehingga, tidak dibenarkan jika firman ini diterapkan kepada Ahlul kitab yang beriman.
Berdasarkan dalil-dalil yang penulis sampaikan di atas, maka siapapun tidak berhak mencampuradukkan dan memutarbalikkan kedua pihak tersebut. Termasuk kaum liberalis yang telah menapikkan perbedaan yang begitu dalam antara Ahlul kitab yang beriman dengan Ahlul kitab yang tidak beriman. Mereka telah mengeneralisir ayat-ayat, dan mengaburkan dua pemilihan secara tumpang tindih, sehingga mereka memakai firman yang seharusnya ditujukan kepada Ahlul kitab yang beriman, malah diterapkan kepada Ahlul kitab yang kafir. Padahal, terdapat perbedaan yang mendasar antara aqidah yang hanif (baca: tauhid) dengan aqidah Trinitas (Tatslits).
Perbedaan yang menyolok antara kedua pihak, dimana Ahlul kitab yang beriman adalah mereka yang mengimani kenabian Isa Almasih, contohnya; pendeta-pendeta yang menjadi guru Salman Al Farisi yang menunjukkan Salman kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan Ahlul kitab yang kafir adalah mereka yang mengakui ketuhanan Yesus (Nabi Isa), Trinitas, Surat penebusan dosa, penyaliban Yesus, Inkarnasi (Tajassud)/tuhan yang menjelma, serta menolak Al Qur’an dan kenabian Muhammad Saw. Kenapa kaum liberalis menyembunyikan ayat-ayat Al Qur’an yang jelas menolak faham trinitas31, serta mereka menutup mata terhadap ayat yang terang-terangkan melaknat orang-orang yang menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah Swt.?32. Apakah mereka hendak membuat agama sendiri yang bernama "agama liberal"?!.

Simpang siur dalam memahami pernikahan Ahlul Kitab
Upaya kaum liberalis dalam menggolkan tujuannya tidak hanya berhenti sampai memberikan pemahaman kepada umat beragama bahwa semua agama itu sama, tetapi mereka melanjutkannya pada tarap praktis seperti; menikahkan muslimin dengan non-muslim yang mereka anggap sebagai Ahlul kitab. Padahal, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa Ahlul kitab adalah orang Yahudi dan Kristen yang berketurunan dari bangsa Israel.
Islam membolehkan muslim laki-laki untuk menikahi wanita Ahlul kitab33, tetapi Islam tidak membolehkan jika muslimah menikahi laki-laki dari Ahlul kitab34. Larangan ini disyari’atkan, agar dapat menjaga aqidah para muslimah dari pengaruh suaminya, karena pengaruh pendidikan suami lebih besar bagi istri dari pada pengaruh istri bagi suami.
Adapun pembolehannya laki-laki muslim dalam menikahi wanita Ahlul kitab, ini dibatasi oleh syarat umum yang terdapat dalam surat Al Mâidah: 5. Maksudnya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul kitab, jika wanita tersebut termasuk orang yang menjaga kehormatannya (Al Ihshân). Imam Al Qurthubi menyitir ucapan Ibn Abbas dalam menafsirkan kalimat Al Ihshân, beliau berkata “Al Ihshân ditafsirkan sebagai, wanita Ahlul kitab yang suci dan berakal”35.
Tetapi, syarat umum ini masih terikat oleh syarat-syarat khusus yang terdapat di dalam ayat-ayat lainnya. Artinya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab jika wanita itu termasuk Al Ihshân (syarat umum) dan termasuk pada syarat-syarat khusus di bawah ini:
1. Wanita Ahlul kitab keturunan bangsa Israel, karena Ahlul kitab adalah mereka yang berasal-usul dari keturunan bangsa Israel36.
2. Wanita Ahlul kitab yang mempercayai ke-Esa-an Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw.37.
Syarat nomor dua ini dimasukkan, karena orang yang menyatakan bahwa Isa atau Uzair adalah anak/tuhan, mereka itu disebut juga para musyrikin sekaligus kafir. Karenanya Abdullah Ibn Umar pernah berkata “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman. Dan aku (Ibn Umar) tidak melihat ada kemusyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa (Yesus), padahal Isa adalah hamba Allah”38. Ahlul kitab yang dimaksud disini adalah mereka yang bermadzhab Arius (dalam Kristen) yang menyatakan dalam Konsili Nikea tahun 325M bahwa “Yesus tidak bersifat azali (azali: ada yang tidak didahului oleh tidak ada), Yesus diciptakan oleh Allah, dia tidak menyamai substansi (jauhar) Allah”. Namun mayoritas madzhab ini diusir, dibunuh dan dibakar buku-bukunya oleh madzhab Athanasius (aqidah trinitas) pada penjagalan yang bernama “Lembaga Inkuisisi”.

Kedua syarat ini tidak berarti mengubah nash qath’i (teks mapan) dalam Al Qur’an yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi ini adalah upaya mengikat syarat yang umum dengan syarat-syarat yang khusus, agar muslimin tidak salah dalam memilih wanita Ahlul kitab. Upaya pengikatan syarat umum ini telah dilakukan oleh Umar Ibn khathab pada masa kekhilafahannya, beliau melarang Thalhah Ibn Ubaidillah dan Hudzaifah yang hendak menikahi wanita Ahlul kitab. Beliau beralasan, khawatir jika wanita Ahlul kitab yang akan dinikahi Thalhah dan Hudzaifah berkhianat dan keluar dari syarat Al Ihsan, yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an39.
Lebih lanjut lagi, Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitab “Al Umm”nya “Menikahi orang-orang baik (wanita Al Ihsan. pen) dari golongan Ahlul kitab hukumnya halal, meski aku lebih suka orang Islam tidak menikahi mereka. Aku diberitahu Abdul Majid dari Ibn Juraij dari Abu Zubair, bahwa Abu Zubair mendengar Jabir Ibn Abdullah ra. pernah ditanya tentang pria muslim yang menikahi wanita Yahudi atau wanita Nashrani. Jabir menjawab, ‘Aku dan Sa’ad Ibn Abi Waqqash pernah menikahi wanita Ahlul kitab semasa penaklukan Kufah (Irak) oleh karena kami tidak mendapati banyak wanita muslimat di sana ketika itu. Lalu kami kembali ke Madinah, kami menceraikan mereka’. Kata Jabir lagi, ‘Mereka tidak berhak mewarisi harta seorang muslim, dan sebaliknya orang muslim tidak berhak mewarisi harta mereka. Wanita Ahlul kitab boleh dinikahi oleh muslim, tapi wanita muslimah haram dinikahi oleh mereka’,”40.
Dari kisah Jabir ini dapat disimpulkan bahwa, ada dua kondisi yang harus diperhitungkan ketika akan menikahi wanita Ahlul kitab :
Pertama, mereka dalam kondisi masa penaklukan (Al Fath). Artinya, menikahi wanita Ahlul kitab itu ketika Islam menang atas mereka. Jadi, pernikahan itu boleh dilakukan hanya dalam Negara Islam, dimana pemerintahan Islam punya kekuasaan untuk memelihara keluarga muslim. Dan lagi, wanita Ahlul kitab itu berada dalam wilayah negeri Islam.
Kedua, mereka dalam kondisi nyaris tak mendapat wanita muslimah.
Namun, meskipun dua kondisi itu sudah terpenuhi, dua orang sahabat dalam riwayat di atas toh pada akhirnya menceraikan mereka41. Maka penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i yaitu membolehkan menikahi wanita Ahlul kitab, namun yang sesuai dengan syarat-syarat di atas. Tapi, penulis lebih menyarankan jika orang Islam tidak menikahi mereka, disamping demi menjaga diri dan keluarga dari api neraka42, juga karena masih banyak wanita muslimah yang belum menikah.

Epilog
Para musuh Islam dan orang-orang yang lemah imannya terus-menerus membuat pembusukan dari dalam tubuh umat Islam, dengan menggoyah aqidah mereka agar lambat-laun keluar dari Islam. Jika saja kita membenarkan konsep Ahlul Kitab yang mereka sodorkan, maka tidak hanya kekacauan pemikiran ini saja yang akan dialami kita, tapi pada hal-hal yang lainnyapun akan terpengaruhi. Dikarenakan jika kita sudah sedikit melenceng, maka mereka akan terus membawa ke arah yang lebih sesat, dengan mengaburkan pemahaman yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah. Sehingga pluralisme agama yang mereka cita-citakan, dapat terealisasikan.
Penulis hanya mengajak agar sama-sama mendalami Islam dengan mempelajarinya dari para ulama Islam, tidak kepada para Orientalis dan liberalis. Karena ulama adalah mereka yang senantiasa takut kepada Allah, sehingga mereka tidak akan menyalahgunakan dan menyesatkan Ilmu. Sedangkan para Orientalis dan Liberalis adalah mereka yang hanya berorientasikan pada keduniawian semata.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu
Foot Note
1. QS. Ali Imran: 67-68
2. Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h. 42
3. Asy Syafi'i, Al Umm, Beirut, Dar El Kutub El Ilmiah, Jil. V, h. 11
4. QS. Ali Imran: 110-113
5. QS. Al mâidah: 83, Al Qhashash: 52-53
6. QS. Al Qhashash: 52
7. QS. Al mâidah: 66
8. QS. Al Qhashash: 54
9. QS. Al mâidah: 85
10. QS. Ali Imran: 78
11. QS. Al Baqarah: 146
12. QS. Al mâidah: 73
13. QS. At Taubah: 30-31, Al mâidah: 72
14. QS. Al Baqarah: 105
15. QS. Al Baqarah: 109&120
16. QS. Ali Imran: 69
17. QS. At Taubah: 32
18. QS. Qashash: 46
19. QS. Ali Imran: 118, Al Mujâdilah: 22, Al Mumtahanah: 1&9
20. QS. Ali Imran: 28, Al Mâidah: 5
21. QS. Al Mâidah: 64, At Taubah: 29
22. QS. Ali Imran: 120
23. AL Qurthubi, Al Jâmi’u li Ahkâmil Qur’ân, Cairo: Maktabah At Taufiqiyyah, jil. VI, h. 212
24. QS. At Taubah: 29
25. QS. Al Baqarah: 256
26. QS. Al Mumtahanah: 8
27. QS. Ali Imran: 113
28. QS. Al Mâidah: 83
29. QS. Al Mâidah: 73
30. QS. Ali Imran: 78
31. QS. Al Mâidah: 73
32. QS. At Taubah: 30
33. QS. Al Mâidah: 5
34. QS. Al Mumtahanah: 10
35. AL Qurthubi, Op cit. Jil. VI, h. 70
36. QS. Ash Shaf:6
37. QS. Al Baqarah: 221
38. Dr. Rauf Syalabi, Terj; Distorsi Sejarah dan Ajaran YESUS, Jaktim: Pustaka Al Kautsar, 2001, h. 197
39. Yusuf Qardhawi, As Siyâsah Asy Syar’iyyah, h. 209
40. Asy Syafi'i, Op cit. Jil. V, h. 10
41. Dr. Rauf Syalabi, Op cit. h. 196
42. QS. At Tahrîm: 6